Rabu, 06 Februari 2008

Aku Menulis Lagi

Inilah tekadku. Ingin menulis lagi, meski keadaanku sudah berbeda dengan di saat aku produktif sekitar tahun 90-an. Aku telah memasuki dunia kerja yang terlalu banyak menyita hari-hariku. Begitu menjemukan sekaligus melelahkan. Selain sebagai guru, aku juga bekerja di warung makanan.


Di warung inilah menyebabkan matinya kreativitas yang sejak lama kubina. Bibit yang semestinya selalu disiram dan dipelihara, ternyata harus layu sebelum akhirnya terkubur. Ah, menyedihkan memang.


Meski aku menyadarinya, toh pekerjaan di warung tetap rutin kujalani. Dari sinilah, aku bisa merasakan segalanya. Kehidupan di rumah tangga terasa berubah. Meski hanya mendapat laba 40 jutaan sebulan, itu jauh lebih baik dibandingkan gaji sebagai seorang guru PNS yang hanya mendapat 1,8 juta sebulan.


Inilah problem guru-guru di sekolah. Gaji yang ada tidak mencukupi untuk keperluan yang lebih besar. Hanya cukup untuk sebuah kehidupan yang sederhana. Terlalu menyedihkan memang. Di saat hasrat untuk punya kehidupan yang lebih baik begitu menggelora, tapi kita tidak mampu apa-apa. Beli rumah tidak sanggup. Kalaupun sanggup, itu hanya type 36 dengan kategori Rumah Sangat Sederhana dengan masa cicilan 10 hingga 15 tahun. Ingin beli mobil, itu impian yang tidak mungkin. Gaji 1,6 juta perbulan mana mungkin ingin membayar angsuran mobil yang mencapai 5 jutaan. Paling-paling cukup untuk membayar uang muka sebuah sepeda motor dengan angsuran ringan. Mau beli televisi 29 inch, spring bed yang mahal, atau sofa yang berkualitas, harus menabung beberapa bulan.


Tidak mengherankan, kalau guru identik dengan kehidupan sederhana. Lalu, haruskan teorema seperti itu diterima? Kita hanya pasrah dengan keadaan tersebut?


Aku, termasuk orang yang membantah pernyataan tersebut. Dan itu sudah kubuktikan. Pekerjaan di warung bisa memberikan pendapatan yang lebih besar dari gaji kita sebagai guru. Bagiku, orang yang hanya mengharap gaji dari pemerintah, tanpa memikirkan bidang usaha lain yang bisa digarap, adalah guru yang tidak punya kreativitas dan miskin inovasi. Mereka miskin dengan gaji pas-pasan, karena mereka tidak kreatif.


Hanya saja, resiko besar yang dihadapi dengan adanya pertumbuhan usaha, adalah pudarnya jiwa intelektual seseorang. Dunia intelektual yang dulu pernah jadi dunia di hati, kini semakin hilang. Kreativitas dalam bidang bisnis nyaris mematikan kreativitas dalam bidang yang lain.


Menulis, dunia yang dulu kugeluti, terasa semakin jauh. Komputer yang dulu setiap hari menemani, kini seperti menjadi barang pajangan yang hanya dipakai jika perlu. Kendati ide-ide cemerlang begitu banyak bermunculan dalam otak, namun pikiran tidak sanggup lagi menuangkannya ke dalam tulisan.


Terkadang muncul rasa malu, ketika ada yang masih mengingat namaku. Padahal nama itu sudah lama tenggelam. Seperti saat aku memperpanjang KIR mobil, tanpa sengaja, Rustam Effendi, staf Dinas Perhubungan Kota Banjarmasin, menanyakanku: “Alipir, kenapa tidak menulis lagi?”. “Dulu aku sering membaca tulisan-tulisanmu,” kata beliau lagi.


Sebenarnya, hati ini masih ingin menulis. Jiwa ini masih seperti dulu. Suka menulis. Karenanya, mulai hari ini, kutanamkan niat dan kumulai lagi dengan menulis kalimat, bahwa “aku menulis lagi!”.


Menjadi Guru Tanpa Merasa Terhina

Dewasa ini, profesi sebagai seorang guru bukan lagi dianggap sebagai profesi yang menjanjikan, apalagi menggiurkan. Guru dalam kehidupan masyarakat era baru ini identik dengan kehidupan sederhana. Lebih detail lagi, miskin dan pas-pasan. Kenaikan gaji yang diusahakan pemerintah tidak mampu mengimbangi harga barang yang melambung tinggi pasca kenaikan BBM. Disaat pemerintah banyak menaruh harapan besar di pundak para guru, seperti peningkatan dan perbaikan mutu output dengan standar kompetensinya, disaat itu pula para guru tengah bergulat memperjuangkan hidupnya. Dua hal yang sama sekali tidak bersinergi. Akibatnya, guru selalu dikebiri.

Dalam retorika, menyandang predikat sebagai guru adalah pekerjaan yang sangat mulia dan terhormat. Guru, yang selalu digugu dan ditiru. Tingkah lakunya bak malaikat yang tidak boleh salah, padahal guru juga adalah manusia. Menjadi guru harus mempunyai berbagai macam kompetensi, yang dengan kompetensi itu akan meningkatkan kualitas anak didik.

Tapi dalam kenyataan, guru bukan lagi sosok yang bisa digugu, apalagi ditiru. Dengan kondisi sederhana, miskin, dan pas-pasan tersebut, mana mungkin siswa dan orangtua siswa ingin meniru sang guru. Lihat saja, banyak siswa sekarang yang sudah tidak lagi bersikap sopan dan hormat pada guru, bahkan cenderung melecehkan bila guru punya banyak aturan dan tata tertib.

Kenyataan terhadap kondisi guru yang demikian diamini oleh para guru sendiri. Unjuk rasa ribuan guru beberapa waktu lalu menuntut perbaikan finansial, serta beberapa artikel di media massa yang ditulis oleh para guru, mengisahkan tentang kesedihan nasib guru yang selalu dikebiri. Guru yang selalu dilecehkan dalam hal finansial, tetapi selalu dituntut dalam hal prestasi. Sampai kadang-kadang dari beberapa tulisan mengenai nasib guru, ada yang berkonklusi, bahwa guru adalah orang yang malang. Gajinya kecil tapi beritanya besar.

Zaman Megawati, tunjangan guru dinaikkan 125 %. Banyak orang mengira, gaji guru naik 125%. Tetapi apa lacur, ternyata itu hanya naik 125% dari Rp. 55.000 (tunjangan guru). Kenaikan itu tetap tidak sanggup mendongkrak pendapatan guru, karena sejak itu pula, sudah terjadi kenaikan harga.

Guru, sedemikian malangkah menjalani profesi ini? Tidak usah bertanya lagi soal kualitas. Mau menyamakan dengan negara lain, it’s impossible. Karenanya, bila guru tidak kreatif, tidak punya dedikasi yang lebih baik, tidak akan ada lagi yang heran.


Hebat di Kelas, Kalah di Masyarakat

Mana kehebatan seorang guru? Ternyata, guru hanya hebat berteori kala berada di dalam kelas. Bisa bercerita tentang kemajuan zaman, kemajuan teknologi, dan teori-teori ekonomi untuk melatih kemandirian murid serta membekalinya dengan kecakapan hidup (life skills).

Tetapi ketika berada di luar kelas, guru adalah orang yang terhempas dengan arus zaman, tergilas roda kehidupan yang semakin modern. Hidup sepertinya sudah tidak berdaya lagi ketika menghadapi gempuran kekuatan asing. Gaji yang didapat tak bisa mengejar kemajuan zaman dan kemajuan teknologi. Teori-teori ekonomi yang dikisahkan di hadapan murid-muridnya juga tak mampu diaplikasikan, bahkan justru keteter menjalankan roda perekonomian dalam rumah tangganya sendiri.

Inilah problem guru-guru kita. Gaji yang ada tidak mencukupi untuk keperluan yang lebih besar. Hanya cukup untuk sebuah kehidupan yang sederhana. Terlalu menyedihkan memang. Di saat hasrat untuk punya kehidupan yang lebih baik begitu menggelora, tapi kita tidak mampu apa-apa. Beli rumah tidak sanggup. Kalaupun sanggup, paling-paling dengan type sederhana dan masa cicilan 10 hingga 15 tahun. Ingin beli mobil, itu impian yang tidak mungkin. Gaji yang diterima mana mungkin membayar angsuran mobil yang mencapai 5 jutaan dengan uang muka puluhan juta rupiah. Paling-paling cukup untuk membayar uang muka sebuah sepeda motor dengan angsuran ringan. Mau beli televisi 54 inch, spring bed yang mahal, atau sofa yang berkualitas, harus menabung beberapa bulan.

Sesedih itukah seorang guru menghadapi kekalahannya di mata masyarakat? Lalu, haruskah teorema seperti itu diterima? Apakah guru hanya pasrah dengan keadaan tersebut?


Kurang Kreatif

Sebenarnya, guru-guru kita hanya kurang kreatif. Pola hidup yang bergantung pada gaji yang diterima setiap bulan, adalah pola yang tidak mendidik dan tidak membangun kreativitas. Pola pikir sebelum memilih profesi guru pun, juga memandang kepada enaknya dapat gaji tanpa harus memiliki resiko dan modal.

Etos kerja seperti ini yang sering menimbulkan masalah.

Ketidakkreativan di luar sekolah kadang-kadang berimbas ke dalam lingkungan sekolah. Guru jadi malas atau tidak bersemangat mengajar. Persoalan di rumah tangga kadang-kadang terlampiaskan pada murid-murid di dalam kelas. Masalah sepele di dalam kelas bisa jadi masalah besar. Belum lagi dengan masalah keuangan. Lalu muncul guru yang memaksa menjual buku ke siswa, penyelewengan dana OSIS oleh guru, perebutan hak pengelolaan kantin sekolah, pemangkasan kegiatan-kegiatan siswa, minta jatah dari hasil sumbangan pihak ketiga, dan lain sebagainya. Masalahnya sepele, hanya memperebutkan uang yang tidak terlalu besar nilainya.


Berpikir Positif

Mengatasi hal yang sampai sekarang terus menjadi problem para guru tersebut, ada baiknya kita mulai berpikir positif.

Mulailah dari usaha untuk tidak mempermasalahkan masalah, melainkan mencari solusi atas masalah. Kegagalan kita adalah sebuah masa lalu, dan cukup untuk kita jadikan kenangan, bukan untuk diratapi. Asumsi masyarakat yang negatif tentang guru, dan itu kita akui, dijadikan cambuk untuk menatap masa depan. Mulailah dari hal yang sederhana.

Bagi seorang guru, apalagi guru mata pelajaran, waktu luang yang tersedia sangat banyak. Misalnya, seorang guru mengajar 18 jam dalam seminggu. Kalau kita hitung 1 jam pelajaran sama dengan 45 menit, maka 18 jam pelajaran hanya membutuhkan waktu 13,5 jam dalam seminggu. Waktu yang sangat sedikit itu sangat tidak sebanding dengan sisa waktu kita yang mencapai 154,5 jam dalam seminggu.

Apa saja yang kita lakukan dengan sisa waktu tersebut? Sisa waktu itu sebenarnya bisa digunakan untuk hal-hal lain yang bermanfaat, setidaknya buat menambah pendapatan selain mengharap gaji. Usaha tersebut antara lain membuka servis elektronik, sablon, warung makan, berjualan, menjahit, komputer, bikin kue, mengelola bimbingan belajar, dan lain sebagainya.

Salah seorang contoh guru kreatif bisa dikemukakan di sini. Ahmadi, seorang sarjana Pendidikan Sejarah FKIP Unlam, merintis usaha sablon untuk kegiatan di luar kegiatan sekolah. Keberhasilannya dalam usaha ini telah mengantarnya memiliki rumah sendiri, punya motor, beli mobil, membantu orangtua, dan fasilitas lain. Income setiap bulan mencapai empat kali lipat dari gaji yang diterimanya sebagai seorang guru di MTsN Model Mulawarman Banjarmasin.

Dengan gaji sebesar itu, Ahmadi bisa mengantisipasi resiko dalam mengatur pengeluaran sebagai seorang guru. Dia mengaku tidak terbebani dengan gaji yang diterimanya di sekolah, dan bekerja di sekolahpun bisa dengan lega hati.


Menghapus Paradigma

Dengan melakukan usaha tersebut, setidaknya seorang guru akan berusaha menghapus paradigma dalam masyarakat, bahwa guru identik dengan kehidupan miskin. Seorang guru harus punya rasa percaya diri yang kuat, bisa berjalan dengan kepala tegak tanpa harus merasa malu.

Memang, perlu perjuangan untuk mencapai semua itu. Tapi bila kita mampu memperjuangkannya, itulah kesuksesan kita. Memang, tolok ukur kita bukan pada sisi materi. Tapi, keberhasilan kita mencapai cita-cita itulah sebenarnya kesuksesan yang saya maksud.

Untuk mencapai kesuksesan, guru perlu bangkit dan mengubah ketergantungan terhadap gaji sebagai seorang guru. Kita harus menciptakan pekerjaan lain, dan itu kita harus berani mengambil resiko.

Keberanian untuk mengambil resiko dalam memulai usaha, untuk bangkrut atau sukses harus diupayakan menjadi hal yang biasa sehingga menjadi attitude yang wajar dalam hidup ini. Ingat, merintis jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Namanya juga sedang membangun passive income. Kalau sudah mempunyai passive income yang bagus, guru bisa lebih tenang bekerja di sekolah. Konsentrasi tidak harus terganggu oleh masalah gaji yang dirasa kecil. Pemerintah tugasnya bukanlah menyejahterakan guru, tetapi hanya memberikan imbalan yang pantas sesuai dengan job kita.

Sukses hidup adalah suatu pilihan, komitmen pribadi dan bukan karena faktor kebetulan atau nasib. Sukses bukan sebuah benda yang jatuh dari langit dan bisa kita pungut begitu saja, tetapi diperoleh dari strategi, perjuangan, pengorbanan, dan pergumulan yang tidak kenal menyerah.

Kalau sukses sudah di tangan, kita tinggal membina siswa di kelas tanpa ada yang membebani. Kita bisa menjadi guru yang lebih kreatif yang tidak hanya bisa berteori. Selain itu, kita menjadi guru yang bermartabat di mata masyarakat. Berdiri dengan kepala tegak, dan berjalan dengan mantap penuh rasa percaya diri.

Bila semua itu terpenuhi, masihkah kita merasa menjadi guru yang terhina?

Lebih Dekat dengan Ali

Semasa mahasiswa, banyak yang mengenal sosok yang satu ini sebagai seorang penulis di media massa. Tulisannya sering menghiasi halaman opini Banjarmasin Post, Dinamika Berita/Kalimantan Pos, Surya, Jawa Pos, dan lain-lain. Dia juga sering menulis cerita anak-anak dan cerita lucu yang dimuat di Majalah Ananda Jakarta. Selain menulis artikel, dia juga menulis cerita dan puisi. Bahkan, cerbernya pernah dimuat selama berbulan-bulan di sebuah media massa. Tapi, siapa sangka, dia justru kini malah menggeluti bisnis makanan.

Alipir Budiman, demikian nama pria jebolan matematika FKIP Unlam ini, telah menjatuhkan pilihan berkariernya pada dunia makanan, dan menu Nasi Itik Khas Gambut menjadi andalannya. Kenapa memilih menu khas Gambut?

Ide ini bermula dari seringnya dia melewati daerah Gambut, karena tugasnya sebagai seorang guru matematika di MTsN 2 Gambut. Hampir sepanjang jalan di sekitar Gambut dari pagi hingga malam selalu disesaki dengan orang yang ingin makan nasi itik. Dan, Alipir sendiri termasuk dari para penikmat masakan tersebut. Lantas, muncul ide untuk membuka usaha sejenis di daerah keramaian tersebut

Prospeknya bagus. Lihat saja, hari Minggu dan hari libur Gambut selalu diserbu dengan penikmat nasi itik. Kenapa kita tidak mencoba?” katanya.

Berbekal dengan kemauan keras dan modal pas-pasan, Pak Ali, demikian bapak tiga anak ini biasa dipanggil, mulai membuka usaha nasi itiknya dengan menyewa sebidang tanah kecil di kawasan A. Yani Km 14. “Modal awalnya sebagian dari kantong sendiri, sebagian lagi dari uang tabungan siswa,” kenangnya.

Mula-mula, dagangannya sepi pembeli. Sehari saja tak mampu menghabiskan 5 liter nasi. Sementara warung-warung yang berada di sekitarnya, selalu disesaki dengan pembeli. Namun, berkat ketekunan dan kesabaran Pak Ali dan istrinya, pada bulan ketujuh, di saat mereka hampir kapok berjualan, pelanggan mulai berdatangan. Sekarang, dalam sehari, Warung Barokah (WBG) yang dikelolanya, menghabiskan beras 40 – 70 liter perharinya.


Buka Cabang

Karena ingin terus eksis dalam dunia makanan, tanggal 10 Agustus 2006 yang lalu, Pak Ali membuka cabang di Banjarmasin, yani Nasi Itik Gambut yang berlokasi di Jl. A. Yani Km 3,5 Samping Mesjid Baiturrahim .

Kembali muncul rasa ketar-ketir, jangan-jangan masakannya tidak diterima pasar. Sekadar diketahui, di Banjarmasin, jenis masakan yang disukai masyarakat adalah jenis bakaran, gorengan. Sementara Warung Barokah, andalannya adalah menu masak habang yang menjadi ikon Kota Gambut. Wajar kalau rasa ragu itu muncul.

Kekhawatiran itu ternyata tidak muncul sama sekali, justru harapan untuk tampil lebih baik semakin memberi harapan baru. Warung baru itu ternyata langsung diserbu pembeli, sehingga hari pertama berjualan, karyawannya yang berjumlah 10 orang kalang-kabut untuk menyediakan kebutuhan makanan di warung.

“Ini adalah permulaan yang sungguh membahagiakan. Semua masakan yang kami jual ludes semua diserbu pembeli. Pembeli bahkan sampai antri di luar. Sejak hari itu, kami merasa bahwa warung kami telah langsung diperhitungkan orang sebagai salah satu kompetitor bagi rumah makan yang ada di sekitarnya.” akunya.

Sekarang, kalau pembaca kebetulan lewat di bilangan Jalan A. Yani Km 3,5 Seberang Pangkalan TNI Angkatan Laut, singgahlah ke Warung Nasi Itik Gambut. Soal harga, dijamin masih murah dibanding yang lain. Soal rasa, warung ini juga punya cita rasa khas. Selain nasi itik, juga tersedia menu masak habang yang lain, seperti ayam, haruan, telur, hati, daging, dan dendeng. Juga bila siang hari, ayam dan itik goreng lalapan pun tak kalah lezatnya. Malam hari, sop dan soto itik juga dapat dinikmati.

Dalam sehari, WBG mampu menghabiskan beras 120 – 159 liter. Suatu ukuran yang cukup fantantis bagi sebuah warung kecil.


Obsesi

Sebenarnya ada obsesi lain yang dimiliki Pak Ali dibalik bisnis ini. Dia ingin mengangkat harkat guru di mata masyarakat. Selama ini, katanya, guru identik dengan kehidupan sederhana.Kenaikan gaji yang diusahakan pemerintah tidak mampu mengimbangi harga barang yang melambung tinggi pasca kenaikan BBM. Disaat pemerintah banyak menaruh harapan besar di pundak para guru, disaat itu pula para guru tengah bergulat memperjuangkan hidupnya. Guru yang selalu dilecehkan dalam hal finansial, tetapi selalu dituntut dalam hal prestasi.

Pak Ali ingin membuktikan, bahwa menjadi gurupun tidak halangan untuk mengubah impian menjadi kenyataan. Mau beli mobil, rumah, atau apapun, Insya Allah akan tercapai. Dengan usahanya ini, dia mengharapkan menjadi motivasi bagi guru-guru lain untuk terus memperbaiki ekonominya sendiri tanpa harus bergantung kepada pemerintah.

Dengan melakukan usaha tersebut, setidaknya seorang guru akan berusaha menghapus paradigma dalam masyarakat, bahwa guru identik dengan kehidupan miskin. Seorang guru harus punya rasa percaya diri yang kuat, bisa berjalan dengan kepala tegak tanpa harus merasa malu.

Memang, perlu perjuangan untuk mencapai semua itu. Tapi bila kita mampu memperjuangkannya, itulah kesuksesan kita. Memang, tolok ukur kita bukan pada sisi materi. Tapi, keberhasilan kita mencapai cita-cita itulah sebenarnya kesuksesan yang dimaksud.

Untuk mencapai kesuksesan, guru perlu bangkit dan mengubah ketergantungan terhadap gaji sebagai seorang guru. Kita harus menciptakan pekerjaan lain, dan itu kita harus berani mengambil resiko.

Dan, Alipir sudah membuktikannya. Betul juga. Siapa bilang menjadi guru enggak bisa kaya?


Selasa, 05 Februari 2008

Kelezatan Nasi Itik Gambut Warung Barokah

Jika Anda berkesempatan ke Banjarmasin, tentu tak lengkap rasanya jika tidak mencicipi makanan khas Banjar. Dikatakan sebagai makanan khas, tentu saja karena memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan daerah lain. Menu khas Banjar antara lain Soto Banjar yang terkenal ). dimana-mana, Ketupat Kandangan, rimpi Binuang, kelelepon Martapura, nasi itik gambut.
Wah, bicara nasi itik gambut, Warung Barokah jagonya. Warung ini punya banyak cabang. Cabang pertama di Jalan A. Yani Km 14 (Samping Kompleks Luthfia) Gambut. Ini pas bagi Anda yang baru datang dari bandara (atau luar kota), Anda tinggal turun dari mobil, parkir sebentar, beli dan langsung bawa pulang nasi bungkus itik gambut. Harganya relatif murah, cuman Rp. 7.000 per bungkus. Menggunakan bungkus daun pisang (wuih.... biar nasinya harum..........). Cabang kedua, Jalan A. Yani Km 3,5 (Seberang TNI Angkatan Laut) Banjarmasin. Nah, ini diperuntukkan bagi Anda warga Banjarmasin yang tak ingin jauh-jauh ke Gambut hanya untuk mencicipi nasi itik. Istimewanya, menu di sini lebih komplit dari semua warung nasi itik yang ada di Gambut. Selain bumbu masak habang, ditambah dengan cah sayur, tahu tempe, mie, dan wow... empal jagung. Cuma harganya naik dikit , Rp. 8.000 - Rp. 9.000. Wong itiknya gede-gede. Tempatnya enak, persis di jalan protokol. Cabang ketiga, Jalan A. Yani Km 13.9 Gambut (wah... koq Gambut lagi). Ini dimaksudkan bagi Anda yang pengen ke luar kota ato pengen ke Bandara, bisa langsung mampir ke sini.
TAPI UFF.... WARUNG BAROKAH GAMBUT bukan WARUNG TENDA BIRU ya. Warung Barokah punya rasa yang berbeda.
Bahan-bahan yang digunakan adalah bahan dan bumbu dengan kualitas nomor satu. Selalu dan selalu ingin memanjakan lidah pelanggan.