Rabu, 06 Februari 2008

Menjadi Guru Tanpa Merasa Terhina

Dewasa ini, profesi sebagai seorang guru bukan lagi dianggap sebagai profesi yang menjanjikan, apalagi menggiurkan. Guru dalam kehidupan masyarakat era baru ini identik dengan kehidupan sederhana. Lebih detail lagi, miskin dan pas-pasan. Kenaikan gaji yang diusahakan pemerintah tidak mampu mengimbangi harga barang yang melambung tinggi pasca kenaikan BBM. Disaat pemerintah banyak menaruh harapan besar di pundak para guru, seperti peningkatan dan perbaikan mutu output dengan standar kompetensinya, disaat itu pula para guru tengah bergulat memperjuangkan hidupnya. Dua hal yang sama sekali tidak bersinergi. Akibatnya, guru selalu dikebiri.

Dalam retorika, menyandang predikat sebagai guru adalah pekerjaan yang sangat mulia dan terhormat. Guru, yang selalu digugu dan ditiru. Tingkah lakunya bak malaikat yang tidak boleh salah, padahal guru juga adalah manusia. Menjadi guru harus mempunyai berbagai macam kompetensi, yang dengan kompetensi itu akan meningkatkan kualitas anak didik.

Tapi dalam kenyataan, guru bukan lagi sosok yang bisa digugu, apalagi ditiru. Dengan kondisi sederhana, miskin, dan pas-pasan tersebut, mana mungkin siswa dan orangtua siswa ingin meniru sang guru. Lihat saja, banyak siswa sekarang yang sudah tidak lagi bersikap sopan dan hormat pada guru, bahkan cenderung melecehkan bila guru punya banyak aturan dan tata tertib.

Kenyataan terhadap kondisi guru yang demikian diamini oleh para guru sendiri. Unjuk rasa ribuan guru beberapa waktu lalu menuntut perbaikan finansial, serta beberapa artikel di media massa yang ditulis oleh para guru, mengisahkan tentang kesedihan nasib guru yang selalu dikebiri. Guru yang selalu dilecehkan dalam hal finansial, tetapi selalu dituntut dalam hal prestasi. Sampai kadang-kadang dari beberapa tulisan mengenai nasib guru, ada yang berkonklusi, bahwa guru adalah orang yang malang. Gajinya kecil tapi beritanya besar.

Zaman Megawati, tunjangan guru dinaikkan 125 %. Banyak orang mengira, gaji guru naik 125%. Tetapi apa lacur, ternyata itu hanya naik 125% dari Rp. 55.000 (tunjangan guru). Kenaikan itu tetap tidak sanggup mendongkrak pendapatan guru, karena sejak itu pula, sudah terjadi kenaikan harga.

Guru, sedemikian malangkah menjalani profesi ini? Tidak usah bertanya lagi soal kualitas. Mau menyamakan dengan negara lain, it’s impossible. Karenanya, bila guru tidak kreatif, tidak punya dedikasi yang lebih baik, tidak akan ada lagi yang heran.


Hebat di Kelas, Kalah di Masyarakat

Mana kehebatan seorang guru? Ternyata, guru hanya hebat berteori kala berada di dalam kelas. Bisa bercerita tentang kemajuan zaman, kemajuan teknologi, dan teori-teori ekonomi untuk melatih kemandirian murid serta membekalinya dengan kecakapan hidup (life skills).

Tetapi ketika berada di luar kelas, guru adalah orang yang terhempas dengan arus zaman, tergilas roda kehidupan yang semakin modern. Hidup sepertinya sudah tidak berdaya lagi ketika menghadapi gempuran kekuatan asing. Gaji yang didapat tak bisa mengejar kemajuan zaman dan kemajuan teknologi. Teori-teori ekonomi yang dikisahkan di hadapan murid-muridnya juga tak mampu diaplikasikan, bahkan justru keteter menjalankan roda perekonomian dalam rumah tangganya sendiri.

Inilah problem guru-guru kita. Gaji yang ada tidak mencukupi untuk keperluan yang lebih besar. Hanya cukup untuk sebuah kehidupan yang sederhana. Terlalu menyedihkan memang. Di saat hasrat untuk punya kehidupan yang lebih baik begitu menggelora, tapi kita tidak mampu apa-apa. Beli rumah tidak sanggup. Kalaupun sanggup, paling-paling dengan type sederhana dan masa cicilan 10 hingga 15 tahun. Ingin beli mobil, itu impian yang tidak mungkin. Gaji yang diterima mana mungkin membayar angsuran mobil yang mencapai 5 jutaan dengan uang muka puluhan juta rupiah. Paling-paling cukup untuk membayar uang muka sebuah sepeda motor dengan angsuran ringan. Mau beli televisi 54 inch, spring bed yang mahal, atau sofa yang berkualitas, harus menabung beberapa bulan.

Sesedih itukah seorang guru menghadapi kekalahannya di mata masyarakat? Lalu, haruskah teorema seperti itu diterima? Apakah guru hanya pasrah dengan keadaan tersebut?


Kurang Kreatif

Sebenarnya, guru-guru kita hanya kurang kreatif. Pola hidup yang bergantung pada gaji yang diterima setiap bulan, adalah pola yang tidak mendidik dan tidak membangun kreativitas. Pola pikir sebelum memilih profesi guru pun, juga memandang kepada enaknya dapat gaji tanpa harus memiliki resiko dan modal.

Etos kerja seperti ini yang sering menimbulkan masalah.

Ketidakkreativan di luar sekolah kadang-kadang berimbas ke dalam lingkungan sekolah. Guru jadi malas atau tidak bersemangat mengajar. Persoalan di rumah tangga kadang-kadang terlampiaskan pada murid-murid di dalam kelas. Masalah sepele di dalam kelas bisa jadi masalah besar. Belum lagi dengan masalah keuangan. Lalu muncul guru yang memaksa menjual buku ke siswa, penyelewengan dana OSIS oleh guru, perebutan hak pengelolaan kantin sekolah, pemangkasan kegiatan-kegiatan siswa, minta jatah dari hasil sumbangan pihak ketiga, dan lain sebagainya. Masalahnya sepele, hanya memperebutkan uang yang tidak terlalu besar nilainya.


Berpikir Positif

Mengatasi hal yang sampai sekarang terus menjadi problem para guru tersebut, ada baiknya kita mulai berpikir positif.

Mulailah dari usaha untuk tidak mempermasalahkan masalah, melainkan mencari solusi atas masalah. Kegagalan kita adalah sebuah masa lalu, dan cukup untuk kita jadikan kenangan, bukan untuk diratapi. Asumsi masyarakat yang negatif tentang guru, dan itu kita akui, dijadikan cambuk untuk menatap masa depan. Mulailah dari hal yang sederhana.

Bagi seorang guru, apalagi guru mata pelajaran, waktu luang yang tersedia sangat banyak. Misalnya, seorang guru mengajar 18 jam dalam seminggu. Kalau kita hitung 1 jam pelajaran sama dengan 45 menit, maka 18 jam pelajaran hanya membutuhkan waktu 13,5 jam dalam seminggu. Waktu yang sangat sedikit itu sangat tidak sebanding dengan sisa waktu kita yang mencapai 154,5 jam dalam seminggu.

Apa saja yang kita lakukan dengan sisa waktu tersebut? Sisa waktu itu sebenarnya bisa digunakan untuk hal-hal lain yang bermanfaat, setidaknya buat menambah pendapatan selain mengharap gaji. Usaha tersebut antara lain membuka servis elektronik, sablon, warung makan, berjualan, menjahit, komputer, bikin kue, mengelola bimbingan belajar, dan lain sebagainya.

Salah seorang contoh guru kreatif bisa dikemukakan di sini. Ahmadi, seorang sarjana Pendidikan Sejarah FKIP Unlam, merintis usaha sablon untuk kegiatan di luar kegiatan sekolah. Keberhasilannya dalam usaha ini telah mengantarnya memiliki rumah sendiri, punya motor, beli mobil, membantu orangtua, dan fasilitas lain. Income setiap bulan mencapai empat kali lipat dari gaji yang diterimanya sebagai seorang guru di MTsN Model Mulawarman Banjarmasin.

Dengan gaji sebesar itu, Ahmadi bisa mengantisipasi resiko dalam mengatur pengeluaran sebagai seorang guru. Dia mengaku tidak terbebani dengan gaji yang diterimanya di sekolah, dan bekerja di sekolahpun bisa dengan lega hati.


Menghapus Paradigma

Dengan melakukan usaha tersebut, setidaknya seorang guru akan berusaha menghapus paradigma dalam masyarakat, bahwa guru identik dengan kehidupan miskin. Seorang guru harus punya rasa percaya diri yang kuat, bisa berjalan dengan kepala tegak tanpa harus merasa malu.

Memang, perlu perjuangan untuk mencapai semua itu. Tapi bila kita mampu memperjuangkannya, itulah kesuksesan kita. Memang, tolok ukur kita bukan pada sisi materi. Tapi, keberhasilan kita mencapai cita-cita itulah sebenarnya kesuksesan yang saya maksud.

Untuk mencapai kesuksesan, guru perlu bangkit dan mengubah ketergantungan terhadap gaji sebagai seorang guru. Kita harus menciptakan pekerjaan lain, dan itu kita harus berani mengambil resiko.

Keberanian untuk mengambil resiko dalam memulai usaha, untuk bangkrut atau sukses harus diupayakan menjadi hal yang biasa sehingga menjadi attitude yang wajar dalam hidup ini. Ingat, merintis jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Namanya juga sedang membangun passive income. Kalau sudah mempunyai passive income yang bagus, guru bisa lebih tenang bekerja di sekolah. Konsentrasi tidak harus terganggu oleh masalah gaji yang dirasa kecil. Pemerintah tugasnya bukanlah menyejahterakan guru, tetapi hanya memberikan imbalan yang pantas sesuai dengan job kita.

Sukses hidup adalah suatu pilihan, komitmen pribadi dan bukan karena faktor kebetulan atau nasib. Sukses bukan sebuah benda yang jatuh dari langit dan bisa kita pungut begitu saja, tetapi diperoleh dari strategi, perjuangan, pengorbanan, dan pergumulan yang tidak kenal menyerah.

Kalau sukses sudah di tangan, kita tinggal membina siswa di kelas tanpa ada yang membebani. Kita bisa menjadi guru yang lebih kreatif yang tidak hanya bisa berteori. Selain itu, kita menjadi guru yang bermartabat di mata masyarakat. Berdiri dengan kepala tegak, dan berjalan dengan mantap penuh rasa percaya diri.

Bila semua itu terpenuhi, masihkah kita merasa menjadi guru yang terhina?

Tidak ada komentar: