Inilah tekadku. Ingin menulis lagi, meski keadaanku sudah berbeda dengan di saat aku produktif sekitar tahun 90-an. Aku telah memasuki dunia kerja yang terlalu banyak menyita hari-hariku. Begitu menjemukan sekaligus melelahkan. Selain sebagai guru, aku juga bekerja di warung makanan.
Di warung inilah menyebabkan matinya kreativitas yang sejak lama kubina. Bibit yang semestinya selalu disiram dan dipelihara, ternyata harus layu sebelum akhirnya terkubur. Ah, menyedihkan memang.
Meski aku menyadarinya, toh pekerjaan di warung tetap rutin kujalani. Dari sinilah, aku bisa merasakan segalanya. Kehidupan di rumah tangga terasa berubah. Meski hanya mendapat laba 40 jutaan sebulan, itu jauh lebih baik dibandingkan gaji sebagai seorang guru PNS yang hanya mendapat 1,8 juta sebulan.
Inilah problem guru-guru di sekolah. Gaji yang ada tidak mencukupi untuk keperluan yang lebih besar. Hanya cukup untuk sebuah kehidupan yang sederhana. Terlalu menyedihkan memang. Di saat hasrat untuk punya kehidupan yang lebih baik begitu menggelora, tapi kita tidak mampu apa-apa. Beli rumah tidak sanggup. Kalaupun sanggup, itu hanya type 36 dengan kategori Rumah Sangat Sederhana dengan masa cicilan 10 hingga 15 tahun. Ingin beli mobil, itu impian yang tidak mungkin. Gaji 1,6 juta perbulan mana mungkin ingin membayar angsuran mobil yang mencapai 5 jutaan. Paling-paling cukup untuk membayar uang muka sebuah sepeda motor dengan angsuran ringan. Mau beli televisi 29 inch, spring bed yang mahal, atau sofa yang berkualitas, harus menabung beberapa bulan.
Tidak mengherankan, kalau guru identik dengan kehidupan sederhana. Lalu, haruskan teorema seperti itu diterima? Kita hanya pasrah dengan keadaan tersebut?
Aku, termasuk orang yang membantah pernyataan tersebut. Dan itu sudah kubuktikan. Pekerjaan di warung bisa memberikan pendapatan yang lebih besar dari gaji kita sebagai guru. Bagiku, orang yang hanya mengharap gaji dari pemerintah, tanpa memikirkan bidang usaha lain yang bisa digarap, adalah guru yang tidak punya kreativitas dan miskin inovasi. Mereka miskin dengan gaji pas-pasan, karena mereka tidak kreatif.
Hanya saja, resiko besar yang dihadapi dengan adanya pertumbuhan usaha, adalah pudarnya jiwa intelektual seseorang. Dunia intelektual yang dulu pernah jadi dunia di hati, kini semakin hilang. Kreativitas dalam bidang bisnis nyaris mematikan kreativitas dalam bidang yang lain.
Menulis, dunia yang dulu kugeluti, terasa semakin jauh. Komputer yang dulu setiap hari menemani, kini seperti menjadi barang pajangan yang hanya dipakai jika perlu. Kendati ide-ide cemerlang begitu banyak bermunculan dalam otak, namun pikiran tidak sanggup lagi menuangkannya ke dalam tulisan.
Terkadang muncul rasa malu, ketika ada yang masih mengingat namaku. Padahal nama itu sudah lama tenggelam. Seperti saat aku memperpanjang KIR mobil, tanpa sengaja, Rustam Effendi, staf Dinas Perhubungan Kota Banjarmasin, menanyakanku: “Alipir, kenapa tidak menulis lagi?”. “Dulu aku sering membaca tulisan-tulisanmu,” kata beliau lagi.
Sebenarnya, hati ini masih ingin menulis. Jiwa ini masih seperti dulu. Suka menulis. Karenanya, mulai hari ini, kutanamkan niat dan kumulai lagi dengan menulis kalimat, bahwa “aku menulis lagi!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar