Oleh Alipir Budiman

Novel Ayat-ayat Cinta yang ditulis Habiburrahman el-Shirazy, seorang sarjana alumnus Universitas al-Azhar Cairo, memang fenomenal. Saya sendiri setelah selesai membaca novel itu, merasa ada sesuatu yang sesak di dalam dada. Sesuatu yang berbeda dari novel-novel lain. Tak salah kalau novel Ayat-ayat Cinta ini meledak di pasaran, dan lantas difilmkan. Tapi yang harus diingat, film dan novel itu berbeda. Ada kata hati yang tidak bisa divisualkan, sehingga tidak terwakili dalam film. Nah, justru di novel ini, perasaan hati bisa dikomunikasikan dengan jelas. Tak salah pula, kalau saya menilai, bahwa inilah novel terindah saat ini.

Subhanallah. Ayat-ayat Cinta tidak saja digemari di Indonesia, tapi juga di Malaysia dan Singapura. Samad Said, sastrawan Malaysia, sangat memuji novel ini. Ia mengatakan: Jika dulu pernah hadir "Atheis", "Perburuan", "Pulang", "Merahnya Merah" dan "Bumi Manusia", kini tampaknya gelora itu datang dalam bentuk Ayat-Ayat Cinta pula. Ternyata ia adalah sebuah novel yang sangat memujuk dan menghiburkan. Dengan bahasa yang sederhana mengalir, novel ini menghadapkan kita kepada mahasiswa Indonesia yang tidak saja tekun menangguk ilmu, malah berupaya mengisi kehidupan dengan penuh sabar. Ayat-Ayat Cinta pintar mengheret kita menjejaki — malah menghidu — perhubungan Fahri (Indonesia) dan Maria (Mesir) secara penuh mengajar, menghantar isyarat dan kebijaksanaan baru melalui perhubungan sopan antara insan dua negara.”.
Pembaca lain mengatakan “novel ini sudah lunyai bukan sahaja di kalangan pelajar-pelajar tahfiz atau sekolah pondok malahan mana-mana pembaca di seluruh negara. Dan benar seperti kata mereka. Novel ini boleh diangkat sebagai karya sastera Islam yang berjaya. Sungguh-sungguh terkesan dengan novel ini. Benar-benar saya rasa novel ini sewajarnya dimiliki sesiapa sahaja, sungguh-sungguh penulis menggambarkan segalanya. Pelbagai aspek turut disentuh, agama, cinta, keluarga. Jika anda berat pada agama, ini buku untuk anda. Jika anda suka dengan kisah cinta, ini juga untuk anda. Jika anda pentingkan keluarga, ini juga untuk anda. Jika rasa ingin menjelajah Mesir, ini buku untuk anda. Pendek kata, buku ini sesuai untuk semua golongan.”
Salah satu stasiun televisi Malaysia bahkan sampai mengundang Kang Abik, panggilan akrab penulis novel, datang untuk diwawancarai karena novelnya selalu ada di peringkat puncak sebagai buku laris di Malaysia.
Pencinta novel ini di Singapura lain lagi. Mereka beramai-ramai terbang ke Batam untuk menonton film ini yang sedang diputar di Batam awal Maret 2008 ini.
Wakil Melayu
Lagi-lagi Subhanallah. Novel ini, sadar atau tidak sadar, menjadi perekat kembali hubungan bangsa serumpun, terutama Indonesia – Malaysia. Sebagaimana kita ketahui, hubungan kedua negara ini agak memanas dengan berbagai situasi sejak lepasnya Sipadan Ligitan, dilanjutkan lagi dengan kasus Ambalat, pemukulan wasit Indonesia, pematenan batik Solo, sampai pengklaiman (lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo, adat dan budaya di Sumatera) sebagai milik Malaysia. Belum lagi persoalan TKI yang membuat imej mereka tentang Indonesia sebagai orang yang bodoh dan dungu. Mereka menghina orang Indonesia di sana dengan kata-kata “Indon”. Perang tulisan di internet pun tak terelakkan. Indonesia memplesetkan Malaysia dengan kata “Maling Sial”.
Tapi lihat, Ayat-ayat Cinta mampu merajut benang yang kusut ini. Sajian pendidikan Islam dalam perilaku sehari-hari selalu mewarnai novel ini dari awal sampai akhir. Aplikasi Islam dalam kehidupan betul-betul digarap dengan manis dengan tokoh Fahri yang nyaris tak ada celanya.
Oleh pembaca Malaysia, mereka menganggap Fahri – tokoh hayalan Kang Abik , sang pengarang– sebagai orang yang mewakili Melayu yang berhasil menempuh pendidikan di Mesir, serta berhasil mengamalkan ajaran dan sunnah Baginda Nabi SAW, sehingga dengan perilaku luhur itu berhasil menarik perhatian tiga gadis dari tiga bangsa berbeda. Nama baik Melayu sangat tercitrakan di novel ini, yang juga berarti nama baik Malaysia juga. Malaysia dalam beberapa komentarnya tentang novel itu banyak menyebut Fahri sebagai orang Melayu ketimbang Indonesia. Ini membuktikan bahwa Fahri dalam tokoh itu juga milik mereka yang notabene juga bangsa Melayu.
Novel ini akan tambah laris manis lagi jika seandainya dalam tokoh rekaan itu termuat juga tokoh dari Malaysia, misalnya saja jadi teman Fahri kuliah satu kamar, atau yang lainnya. Tentu hal ini punya kebanggaan tersendiri bagi Malaysia.
Bangsa Melayu sangat dekat, bahkan identik dengan Islam. Islam yang berbalut cerita digarap indah oleh Kang Abik. Indah karena dibalik cerita Mesir-Indonesianya, ceritanya adalah tentang kita. Tentang pergaulan sesama lelaki-perempuan, pergaulan sesama muslim-bukan muslim, adab murid dan guru, adab dan tanggungjawab sebagai seorang lelaki, perempuan, anak, suami, isteri, kawan, kakak, kekasih, tunangan, manusia dan paling penting sebagai hamba Allah.
Kang Abik, juga mengingatkan kita akan bahwa setiap muslim itu tanggungjawab sebagai pendakwah. Banyak teori, hukum, perintah dan larangan yang ada dalam Islam diaplikasikan dengan baik dalam jalan cerita ini. Pengarang betul-betul menjadikan Islam sebagai bagian dari kehidupan dalam karakternya. Islam juga mengatur bagaimana memandang cinta. Novel ini banyak mengambil ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebut tentang cinta. Ayat itu juga merujuk kepada tanda, kekuatan cinta.
Pendidikan Islam
Tidak heran, kalau novel ini merupakan sastra Islami yang hebat. Tidak kurang dari sepuluh kitab yang dijadikan rujukan dalam menulis novel ini. Kang Abik betul-betul memberikan pendidikan ke-Islaman dengan novel sebagai media dan Fahri sebagai tokohnya.
Pendidikan Islam yang dapat kita jumpai dalam novel ini adalah pertama, karakter dan perilaku Fahri banyak mengamalkan sunnah Rasulullah. Misalnya, apabila Fahri hendak menjernihkan suasana pertengkaran, ia tidak serta-merta mengeluarkan hadits “La Taghdab”. Sebaliknya, Fahri mengajak orang yang sedang marah itu agar bersalawat ke atas Nabi SAW dan redalah amarah mereka.
Kedua, Fahri juga teguh dengan prinsip Islam. Contohnya, Fahri sangat menjaga hubungan dengan yang bukan mahram. Beliau enggan bersalaman dengan wanita Amerika dan dijelaskan pula sebabnya menurut hukum Islam. Beliau juga menegur sahabatnya yang membiarkan beliau ditemani keseorangan oleh Maria, seorang wanita Kristian, semasa beliau terlantar di hospital.
Ketiga, Fahri juga menerima saja wanita yang telah dicalonkan oleh gurunya untuk dijadikan teman hidup. Ia tidak tahu siapa gerangan wanita itu. Ia hanya diterangkan bahwa calonnya adalah seorang muslimah yang salehah dan sanggup ikut sama berjuang dalam dakwah. Fahri diberi foto wajah calonnya, tetapi mengambil keputusan untuk ridha dan tawakkal saja.
Keempat, Fahri selalu menjaga kedisiplinan waktu, meskipun ia orang Melayu (Indonesia). Sebagaimana sudah jadi kebiasaan, orang Melayu tidak tepat dalm waktu.
Kelima, Fahri gigih menuntut ilmu. Ia terpaksa menempuh perjalanan yang jauh untuk menuntut ilmu al-Quran dalam suasana matahari yang terik. Ia turut juga rajin berdakwah dengan menterjemah buku dan menjawab persoalan tentang Islam kepada seorang wartawan Amerika sehingga membawa kepada keIslaman wartawan tersebut. Beliau sangat gigih sehingga jatuh sakit sampai akhirnya terpaksa dimasukkan ke rumah sakit akibat terjemur terlalu lama di bawah mentari.
Banyak Hikmah
Sungguh rugi rasanya, seandainya pembaca tidak mengenal siapa saja di balik novel Ayat-ayat Cinta yang sangat hebat ini, dan terjual lebih dari 300 ribu eksemplar.
Bercerita tentang. Fahri, pelajar Indonesia yang berusaha menggapai gelar masternya di Al Ahzar. Berkutat dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Bertahan dengan menjadi penerjemah buku-buku agama. Semua target dijalani Fahri dengan penuh antusiasme kecuali satu: menikah. Kenapa? Karena Fahri adalah laki-laki taat yang begitu ‘lurus’. Dia tidak mengenal pacaran sebelum menikah. Dia kurang artikulatif saat berhadapan dengan mahluk bernama perempuan.
Maria Girgis, tetangga satu flat yang beragama Kristen Koptik tapi mengagumi Al-Qur’an dan Fahri. Kekaguman yang berubah menjadi cinta yang hanya tercurah dalam diary saja. Lalu ada Nurul, anak seorang kyai terkenal yang juga mengeruk ilmu di Al Azhar. Sebenarnya Fahri menaruh hati pada gadis manis ini. Sayang rasa mindernya yang hanya anak keturunan petani membuatnya tidak pernah menunjukkan rasa apa pun pada Nurul. Sementara Nurul pun menjadi ragu dan selalu menebak-nebak. Setelah itu ada Noura, tetangga yang selalu disiksa ayahnya sendiri. Fahri berempati penuh dengan Noura dan ingin menolongnya. Sayang hanya empati saja. Tidak lebih. Namun Noura yang mengharap lebih. Dan nantinya ini menjadi masalah besar ketika Noura menuduh Fahri memperkosanya.
Terakhir muncullah Aisha, si mata indah yang menyihir Fahri. Sejak sebuah kejadian di metro, saat Fahri membela Islam dari tuduhan kolot dan kaku, Aisha jatuh cinta pada Fahri. Dan Fahri juga tidak bisa membohongi hatinya.
Ayat-Ayat Cinta, sebuah novel pembangun jiwa, memang benar-benar membangunkan jiwa-jiwa yang haus akan nilai-nilai religi, dan haus akan suasana hikmah Illahi. Ketika kita merasuk ke dalam cerita itu, bagi orang yang halus hatinya, bagi orang yang kuat perasaannya, pasti akan terbawa dalam keharuan, kemudian tak terasa hangat air mata mengalir lembut di pipi. Saya yakin, siapapun yang pernah membaca buku ini mengalaminya. Yakinlah, banyak hikmah yang dapat dipetik dalam cerita ini.
Alipir Budiman, S.Pd
e_mail : affrains.budiman@yahoo.co.id
Guru MTs Negeri 2 Gambut Kab. Banjar
1 komentar:
senang sekali bisa menonton ayat-ayat cinta. semoga jadi pelajaran bagi kita semua.
Posting Komentar