Selasa, 26 Agustus 2008

Masihkah Bertahan?

Pertanyaan ini cukup menggelitik hatiku. Apalagi barusan menghadiri Talk Show Seminar Bisnis Nasional 'Menguak Strategi dan Inspirasi Bisnis Lihan' yang membuatku sampai meneteskan air mata.
Ada beberapa hal yang menjadi persamaan antara aku dan Lihan. Pertama, aku punya niat berusaha untuk mempekerjakan para 'pencari kerja' dengan mempekerjakan banyak orang. Kedua, profit yang kami dapat bukanlah tujuan utama, melainkan hanya sebagai pengiring karena kita telah bekerja. Ketiga, aku mempercayakan usaha sepenuhnya kepada bawahan.
Hanya, ada beberapa kendala yang terkadang justru menyita banyak waktuku untuk berpikir.
Pertama, banyak dari karyawan yang bekerja tidak sesuai harapan. Mereka lebih banyak ingin menuntut hak, sementara kewajibannya terabaikan. Sebenarnya hati ini sayang terhadap karyawan, tapi hati ini juga 'menyayangkan' sikap mereka yang tidak jujur, tidak bertanggung jawab, tidak disiplin, tidak ulet dalam bekerja, serta memperlihatkan prestasi kerja yang tidak memuaskan.
Kalau sudah demikian, maka muncul pertanyaan yang jadi jadi judul tulisan ini: Masihkah bertahan?
Aku, sesungguhnya tidak sanggup mereka kehilangan pekerjaan. Tapi, aku juga tidak sanggup 'memelihara' karyawan yang bekerja seenaknya. Aku tidak ingin mengambil resiko kehilangan pelanggan karena pelayanan di warung kurang memuaskan.

Kamis, 07 Agustus 2008

Esok Jumpa Lagi

ESOK JUMPA LAGI

Kemaren kau kutunggu di ujung jalan itu
ingin cerita tentang mimpiku
kita menari riang di atas awan putih
o ya sejuknya hatiku

Duduklah di sampingku pasti senang hatimu
hari yang indah untuk bertemu
biar hanya sekejab engkau pun berlalu
o ya esok jumpa lagi

Reff :
Kemaren dan hari ini kita selalu berdua
bersama menggapai cita bersatu dan bahagia
kemaren dan hari ini hanya kau di hatiku
coba genggam tangan ini jangan ragu-ragu
kemaren dan hari ini selalu bersama


O YA YA .

Coba lihat kanan kiri, sawah gunung bukit
gemercik air mengalir wow wow...
sungguh indah pemandangan
yang membuatku senang
engkau juga senang

O ya ya ya o ya ya ya ya
kita semua gembira
O ya ya ya o ya ya ya ya
di atas bukit yang indah
kita semua senang kita semua gembira
bernyanyi lagu riang o ya ya .......


Senin, 04 Agustus 2008

Julius Sitanggang, Idola Anak-Anak

JULIUS MULAI MENGINJAK REMAJA

Judul Album : Dia & Dia
Penyanyi : Julius Sitanggang
Tahun Produksi : 1985
Produksi : Nursandie Corporation

Sukses dengan dua album solonya BALADA ANAK NELAYAN dan BALADA SI TUA serta album TABAHLAH MAMA bersama kelompok DE JOLI'S, nama JULIUS SITANGGANG makin berkibar sebagai penyanyi anak-anak terpopuler saat itu. Album ketiganya dirilis dengan judul DIA & DIA, sebuah lagu yang seperti biasa adalah lagu sedih dan menguras airmata. Album ini meledak, bahkan sempat mendapatkan penghargaan BASF AWARDS. Inilah album anak-anak Julius yang paling sukses. Album ini sekaligus album anak-anak terakhir dari Julius, karena setelah ini dia vakum dalam masa pancaroba dan muncul kembali sebagai penyanyi remaja. Hits dari album ini selain DIA & DIA adalah SEBUAH PENANTIAN.


Track List

1. DIA & DIA (Dakka Hutagalung)
2. SEBUAH PENANTIAN (Louise Komala)
3. DANAU TOBA II (Dakka Hutagalung)
4. DERITA YATIM PIATU (Ririn S.)
5. PULAU BALI (Johnny L.)
6. RESTUMU TUHAN (Johnny L.)
7. SENIMAN KECIL (Ade Putra)
8. RUMPUT LIAR (Budy HS)
9. NASIB SI BUYUNG (Teguh S.)
10. GADIS KECIL YANG MALANG (Louise Komala)



DIA & DIA

Dia Papaku
Yang dulu selalu bagai mentari
Dia Papaku Yang dulu selalu menyinari
Tapi kini dia pergi dan tak kembali


Dia Mamaku Yang dulu selalu bagai rembulan
Dia Mamaku
Yang dulu selalu menghangatkan
Tapi dia juga pergi dan tak kembali


Oh Tuhanku tolong kami
Tolong kami
tegakkan diri ini

Agar kami dapat
Kami dapat
berdiri diatas kaki lemah ini


Oh Tuhanku tolong kami
Tolong kami
beri damai hati ini

Agar kami dapat singkirkan duka ini


Minggu, 03 Agustus 2008

Julius Sitanggang, Idola Anak-Anak

DUH, JULIUS SITANGGANG, LAGU-LAGUMU INDAH

Judul Album : Balada Si Tua
Penyanyi : Julius Sitanggang
Tahun Produksi : 1984
Produksi : Nursandie Corporation

Mereka yang mengalami masa kanak-kanak di tahun 80an rasanya semuanya mengenal nama JULIUS SITANGGANG. Suaranya yang khas dan lagu-lagunya yang kebanyakan 'menyayat' memang langsung disukai tidak hanya oleh anak-anak tapi juga orang dewasa. Album BALADA SI TUA ini adalah album kedua, sekaligus album yang mengangkat namanya ke jenjang popularitas paling tinggi. Hampir semua lagu di album ini familiar di telinga anak-anak masa itu, tapi hits besarnya adalah lagu DANAU TOBA, KENYATAAN HIDUP dan BALADA SI TUA. Di album ini Julius juga didukung oleh saudara-saudaranya yang tergabung dalam kelompok vokal De JOLIS yaitu RANTO, FERNANDO dan DAVID.


Track List

1. KENYATAAN HIDUP (Louise Komala)
2. BALADA SI TUA (Monche Tambunan)
3. DANAU TOBA (Dakka Hutagalung) feat. De Jolis
4. TUNA NETRA (Ririn S.)
5. MAMA (Dakka Hutagalung)
6. LEGENDA LAMA (Monche Tambunan)
7. DOA UNTUKMU KAWAN (Ny. Sitanggang & JPS)
8. BOBY (Ina Hermina)
9. PANGGILAN RINDU (F. Manang Kalangi)
10. ANGAN DAN KERINDUAN (Rico Gerrit M.)
11. DERITA ANAK PENGEMIS (Ririn S. & Mulyadi)

KENYATAAN HIDUP

Baju rombeng dan topi tuanya
menutup tubuh kecil dan kurus
kulit yang hitam berdaki terbakar mentari
sedang matanya sayu tak bersinar

Ia slalu duduk di emper jalanan
mengharap belas kasih sesamanya
tak jarang ia dihina juga dicela
sering pula direjam oleh lapar

Reff :
Bocah malang tlah lahir terlunta-lunta
hendak meratap kini pada siapa
ibu bapak tak pasti dimana mereka
apakah ini nasib hidup di dunia

Airmata mungkin tlah tiada
kini terbenam oleh penderitaan
tawapun kini tak lagi pernah berderai
terbenam duka dan luka di hati


BALADA SI TUA

Tersendat-sendat langkahnya si tua
menyusuri lorong di ibukota
mencari anaknya yang lama terpisah
membawa rindu dari ujung desa

Setiap tempat yang ia lalui
tak lelah bibirnya untuk bertanya
ke wisma yang megah ke gubug yang tua
tapi anaknya tak bertemu jua

Reff :
Bertahun dia berkelana
tubuhnya yang lemah smakin renta
kembali ke desa tak berguna
sawah dan ladang sudah tak punya

Betapa malangnya nasib si tua
terlunta di kota metropolitan
anak tak berjumpa jadilah dia
pengemis di pinggiran jalan

Setiap saat si tua berdoa
bertemu anaknya sebelum mati
tak pernah terduga anaknya tlah pergi
menanti dirinya di pintu surga

DANAU TOBA

Di negeriku Indonesia ada satu danau yang permai
yang terluas di dunia
kebanggaan seluruh bangsa

Reff :
Oh Danau Toba ... Danau Toba
Danau indah dan permai
Danau Toba ... Danau Toba
Tiada banding di dunia

Di tengahnya ada pulau
pulau subuh Pulau Samosir
Aku bangga, ku bahagia
karena kulahir di sana

Kembali ke reff.

Pulau subur, danau indah
kau tak akan kulupa
dalam lagu, dalam kalbu
kau yang slalu kurindu ... kurindu ... kurindu !

TUNA NETRA
MAMA
LEGENDA LAMA

DOA UNTUK KAWAN

Ketika surya turun hendak bermalam
dan bercumbu dengan lautan biru
camarpun pergi membawa nyanyian rindu
dari hati seorang nelayan tua

Tatkala angin lalu datang menyapa
dan memberi salam "selamat malam"
iapun lalu mengucap sepotong doa
untuk anaknya yang tinggal di kota

Kembalilah pulang anakku sayang
ibumu, adikmu, menantimu
kembalilah pulang anakku sayang
ombak pun rindu pada kidung malammu

Sudahkah kau jumpai yang engkau cari
kehidupan bahagia di sana
ataukah hanya impian yang kau temukan
kembalilah kami menunggumu.



Selasa, 03 Juni 2008

Mengubah Mimpi Jadi Nyata

MENGUBAH MIMPI JADI NYATA
(Perjalanan Seorang Guru)


Apa yang kutulis dengan judul ���Mengubah Mimpi Menjadi Nyata��� ini sebenarnya masih belum pantas, karena aku bukanlah seorang yang sudah sukses besar seperti orang kebanyakan. Tapi setidaknya, sukses yang kumaksud disini adalah sukses hidup tanpa pernah memakai gaji sebagai seorang guru. Malah dengan gaji tersebut, uang yang kudapat semakin berlipat.

Tulisan inipun dibuat bukan sebagai suatu kesombongan karena menganggap diri telah berhasil dalam mendapatkan apa yang diinginkan, tapi lebih bersifat memberikan sumbangan pengalaman bagi mereka yang ingin mengikuti jejak cara mendapatkan kesuksesan. Bukankah impian setiap guru bisa mendapatkan gaji yang bisa mencapai puluhan kali lipat gaji yang diperoleh setiap bulan.

Perjalanan hidupku, mungkin sangat berbeda dengan pengalaman hidup orang lain. Apa yang kualami, mungkin tidak pernah dialami oleh orang lain. Karenanya, inilah pengalamanku, yang menjadi bahan pengalaman untuk orang lain.


Sejak Kecil Berjiwa Bisnis

Jiwa bisnis memang seakan sudah menjadi darah daging dalam keluarga kami. Orangtuaku sejak aku kecil sudah berdagang pakaian. Pada waktu itu di desa kelahiranku bisa dihitung dengan jari orang yang berjualan. Kebanyakan pekerjaan yang digeluti oleh penduduk kampung adalah bertani.

Mama, banyak berperan dalam dagangan ini. Beliau mengatakan, bahwa walau tidak bertani, tetapi tetap bisa mendapatkan beras. Kalau para petani ingin mendapatkan beras, maka mereka harus banting tulang memeras keringat bekerja di ladang, dari menanam padi sampai memetik buahnya. Sebaliknya, mama, hanya dengan melayani pembeli ���tanpa harus mengeluarkan keringat���bisa mendapatkan uang. Dengan uang tersebut digunakan untuk membeli beras.
Tidak ada pekerjaan yang lebih mudah selain berdagang, begitu kata mama waktu itu.

Mama juga mengajariku untuk berdagang. Mulai dari menjual es keliling kampung, menjual gulali, menjual makanan ringan yang dijual di sekolah sewaktu istirahat. Semuanya kulakoni dengan senang hati. Betapa senang bisa mendapatkan keuntungan sebesar 20 % dari modal.

Juru Foto Amatir

Lulus Sekolah Dasar di desa, aku melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri yang ada di ibukota kabupaten Barito Utara, yakni Muara Teweh.

Setiap kali pulang kampung, aku melakoni bisnis baru, jadi tukang foto amatir. Berbekal hobi memotret, aku mulai menjadikan hobi ini sebagai ladang bisnis. Aku keliling kampung menenteng tustel dan menjajakan jasa foto. Cuci cetak foto kubawa ke Muara Teweh dan hasilnya kukirimkan lewat kapal tujuan Mangkahui.


Bakat Menulis

Tanpa kusadari, ketika di Muara Teweh, aku telah kehilangan jiwa bisnis yang kumiliki sejak kecil. Di kota ini, kami belajar mandiri dengan tujuan utama belajar.

Memang aku sukses dalam belajar. Buktinya, aku selalu meraih ranking pertama kelas satu dan kelas dua. Kelas tiga, sebenarnya kuakui aku yang juara pertama, tapi karena wali kelasku pilih kasih dengan seorang rival beratku, aku ditaruh sebagai juara dua. Wali kelasku itu tinggal di rumah teman yang sekaligus menjadi rivalku meraih gelar juara, karenanya, mungkin telah termakan budi baik orang tua temanku itu, sehingga temanku yang menjadi juara pertama.

Tapi ada satu hal yang mengalami kemajuan dalam hidupku. Aku mulai mengenal dunia tulis menulis. Aku sering membaca Banjarmasin Post, Majalah Ananda, Majalah Bobo, Anita Cemerlang, Majalah Ria Film dan sebagainya.

Berbekal pengalaman membaca dan selalu membaca, aku mulai berpikir untuk membuat suatu karya yang bisa dibaca oleh banyak orang.
Karenanya, timbullah bakatku untuk menulis. Seperti kebanyakan orang, aku mulai membuat puisi sebagai kegiatan menulis pertamaku. Apa saja perasaan dalam hati, disalurkan lewat puisi. Puisi pertamaku muncul di Rubrik Dahaga Banjarmasin Post.

Selain menulis puisi, aku juga penyuka cerpen. Aku begitu salut dengan cerpen karya Zara Zettira, Gus TF Sakai, Adek Alwi, yang hampir setiap penerbitan Anita Cemerlang, cerpen mereka selalu dimuat. Di Anita Cemerlang, ada beberapa cerpenis yang berasal dari Banjarmasin, yaitu Nanny S, Lan Fang, dan Rudi Setyawan. Aku begitu mengagumi karya mereka, khususnya karya Lan Fang, yang begitu menggugah semangatku untuk ikut menulis cerpen. Aku mulai berpikir, bahwa aku juga bisa seperti mereka.

Aku mulai menulis cerpen. Cerpen pertamaku ���Cintaku Tumbuh di Pantai Gosong��� selesai ditulis, dan aku sungguh bahagia. Tetapi sayang, tak ada satupun penerbit yang menerbitkannya. Bulan demi bulan selalu kunanti pemuatannya, namun tak kunjung tiba. Aku masih berharap, bahwa cerpenku masih diseleksi redaksi.

Tetapi tidak pernah terbersit muncul rasa putus asa. Malah cerpenku semakin banyak kutelorkan. Kucoba pula menulis cerita mini yang kusesuaikan dengan isi Majalah Ananda. Alhamdulillah, cerita mini pertamaku ���Gara-gara Ngintip��� dimuat di Majalah Ananda terbitan Jakarta. Itupun setelah berbulan-bulan aku meneliti setiap penerbitan Ananda, kalau-kalau ada naskahku yang dimuat. Disaat aku bosan meneliti tulisanku, di saat itulah tulisanku dimuat. Sesudah itu, cerita miniku hampir setiap minggu kukirim ke Ananda. Beruntung, beberapa diantaranya dalam tempo yang tidak terlalu lama sering menghiasi Majalah Ananda.


Menginjak bangku SMA, aku pindah ke Banjarmasin. Di sini, bakat kepenyairanku semakin memancar, sampai aku kuliah di Universitas Lambungmangkurat. Tulisanku tidak terbatas hanya di Majalah Ananda saja, tetapi semakin meluas. Di koran terbitan Banjarmasin saja, aku mulai rutin menulis di Banjarmasin Post, Dinamika Berita, dan Media Masyarakat. Sedang di media massa di luar Banjarmasin, aku menulis di SKM Simponi (Jakarta), Sinar Pagi Minggu (Jakarta), Surya (Surabaya), dan Jawa Pos (Surabaya). Selain menulis puisi, aku juga menulis esai sastra, cerpen, artikel populer, dan lain-lain. Aku juga turut membidani lahirnya majalah mahasiswa ���Suluh Pendidikan��� FKIP Unlam.Di kalangan mahasiswa, aku dikenal sebagai penulis muda.
Dari hasil menulis, aku bisa menikmati hasilnya untuk biaya jajan, meski waktu itu koran Banjarmasin belum memberikan imbalan yang memuaskan.


Suka Teater dan Puisi

Selain menulis di media massa, aku juga suka bermain teater. Selama aktif dalam kegiatan Taman Budaya, beberapa kali aku bersama grup teaterku manggung di Taman Budaya. Berkat teater itu pula aku kenal dengan banyak tokoh, seperti Ajamuddin Tifani, Nor Aini Cahya Khairani, YS Agus Suseno, Rudy Karno, Tajuddin Noor Ganie, Hijaz Yamani. Enak sekali rasanya kenal dan dikenal banyak orang.

Teater kami, waktu itu aku ikut Sanggar Sesaji / Mariam Plus, pernah terpilih sebagai Teater Terbaik se-Kalimantan Selatan. Waktu itu kami membawakan naskah absurd berjudul ���Aduh��� karya Putu Wijaya dengan sutradara Rudy Karno.

Pengetikan Komputer

Selain menulis, aku juga menerima pengetikan komputer. Tujuanku, selain untuk menjadikan sebagai sarana mendapatkan uang, aku juga mengasah kemampuanku menulis. Untuk menulis, prinsipku, harus banyak membaca karangan orang lain agar kita semakin kaya dengan kata-kata dan ungkapan.

Mencari uang rupanya telah menjadi tujuan bagiku. Apapun bisa dijadikan uang. Dan hal yang lebih berharga bisa didapat dari pengetikan komputer, bahwa aku bisa jadi sekretaris di perusahaan mana saja. Selain mengetik skripsi para mahasiswa, tugas para pelajar, aku juga turut menyusun Rancangan Anggaran Biaya untuk beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang kelistrikan, jalanan, batubara, dan lain-lain. Aku mengenal beragam proposal, dan kadang-kadang hapal dengan polanya. Aku bekerja siang dan malam untuk menyelesaikan tender yang tinggal menunggu hari H-nya. Dan yang lebih mengesankan, bahwa yang menyusun Rencana Anggaran Biaya itu sepenuhnya diserahkan kepadaku.

Jelas sekali, bahwa ilmu itu tidak diperoleh tanpa dipraktekkan. Komputer pun dengan sendirinya telah menjelma menjadi kawan yang tak terpisahkan dalam keseharianku.

Menjadi Guru Honor dan Membuka Les Privat

Seiring dengan perjalanan waktu, kuliahku sudah mulai berjalan beberapa semester. Aku melamar untuk menjadi guru honor, dan diterima di SMK Bina Banua Banjarmasin.
Selain sebagai guru honor, aku mulai usaha baru lagi, yakni memberikan les privat ke rumah-rumah. Bagaimanapun, uang kuliahku harus bisa kembali. Jadilah, aku sibuk dengan les privat baik itu matematika maupun komputer.

Bimbingan Belajar

Bosan dengan les privat, aku berniat membuka sendiri bimbingan belajar. Jika dikelola secara profesional, rasanya tidak kalah dengan bimbingan belajar lain yang sudah ada. Di dekat lokasi bimbingan belajarku, sudah ada beberapa bimbingan belajar, diantaranya Young Generation dan Gamma Plus. Tapi soal fasilitas, kedua bimbingan belajar itu tidak prosefional. Rasanya mereka masih menjual jasa bimbingan itu seadanya. Kursi kayu, papan tulis yang sudah kusam, rasanya tidak layak untuk dijual mahal.

Aku mulai membuka usaha ini pada tahun 2002 dengan niat memberikan yang terbaik buat siswa. Harga yang mahal bagi orangtua murid tentu akan sebanding bila kita memberikan layanan yang memuaskan. Salah satunya adalah fasilitas.

Untuk itu aku menyediakan kursi lipat kuliah bermerk ���Chitose��� untuk anak-anak (wah... anak-anak duduk di atas kualitas). Papan tulis menggunakan white board. Di setiap ruangan diberi kipas angin. Kamar-kamar tidur disulap jadi ruang belajar.

Materi pelajaran yang dibuka adalah Sempoa, Matematika, dan Bahasa Inggris. Ternyata ketiga mata pelajaran ini banyak sekali peminatnya, karena sesuai dengan selera orangtua yang ingin anaknya menguasai materi dalam bidang ini. Sedang untuk pelajaran IPA, IPS, dan yang lainnya, bisa mereka kuasai sendiri dengan membaca buku di rumah. Sementara Matematika dan Bahasa Inggris, mereka butuh tutor yang bisa mengajari anak mereka.

Bimbingan ini berjalan dua tahun, mengumpulkan murid lebih dari seratus setiap semester. Income yang didapat dari bimbingan belajar ini adalah sekitar 1,5 juta perbulan sudah dipotong gaji para guru.

Ayam Goreng Tepung Tunjung Maya

Untuk menambah penghasilan selain dari gaji dan bimbingan belajar, aku bersama isteriku membuka usaha baru dalam bidang makanan. Kami membuka Kedai Ayam Goreng Tepung Tunjung Maya di Gambut pada tanggal 6 Februari 2003. Sebelumnya kami telah survei, bahwa di daerah tersebut hanya ada satu warung yang berjualan ayam goreng tepung. Itupun rasanya kurang enak.

Rencanaku, apabila sudah berhasil nanti, warung itu hanya dijaga oleh anak buah, dan isteriku hanya menjadi pengawas di situ. Sementara aku, tetap mengelola bimbingan belajar.
Tetapi rencana ini kurang berhasil. Usaha ayam goreng tepung kami tidak diminati masyarakat. Dalam sehari, hanya bisa dihitung dengan jari orang yang membeli ayam goreng kami, itupun masyarakat di sekitar Gambut saja yang membeli. Padahal, sasaran kami buka usaha ini, bukan masyarakat Gambut, melainkan orang yang setiap hari lalu lalang melewati jalan A. Yani Gambut.

Ayam goreng tepung yang kami kelola hanya bertahan dua bulan. Saatnya memikirkan apa yang disukai masyarakat terhadap masakan di Gambut.

Warung Nasi Barokah

Gagal di Ayam Goreng Tepung, kami membuka usaha nasi bungkus dengan menu itik. Menu itik ini tampaknya seolah menjadi ciri khas kota Gambut. Di sepanjang jalan tempat kami berjualan, semuanya berjualan dengan menu itik. Dengan terpaksa, kami mengikuti kemauan itu, dengan ikut-ikutan menjual nasi itik.

Mula-mula, terasa sangat sepi. Nasi yang hanya kami bungkus beberapa bungkus itu tidak laku-laku. Tampaknya, tidak ada orang yang melirik warung kami. Setiap orang mau singgah, selalu melihat ke warung Kamilia, warung tetangga, yang notabene sudah sejak lama berjualan.
Seharian kami berjualan, lakunya terkadang hanya 6 bungkus. Sementara warung tetangga selalu berjubel dengan pembeli. Melihat keadaan ini, rasanya hampir putus asa untuk berjualan.

Bimbingan Belajar Bubar

Sebenarnya, berjualan ini menjadi tugas isteriku. Sedang aku, terus mengelola bimbingan belajar. Tapi, karena warung masih dalam keadaan sepi, akhirnya aku yang selalu turun tangan bekerja di warung. Kami tidak punya anak buah, karena tiada biaya untuk membayar upahnya. Untuk mengembalikan modal saja rasanya tidak bisa.

Akhirnya, bimbingan belajar kuserahkan kepada adikku. Tapi tak lama kemudian, adikku menikah sehingga tidak ada lagi yang mengelola bimbingan belajar. Selain itu tempatnya dipakai oleh adikku yang sudah menikah. Dengan terpaksa, akhirnya bimbingan belajar itu ditutup meski menimbulkan banyak tanda tanya bagi orangtua murid. Mereka sebenarnya kerasan mendidik anaknya pada bimbingan belajar kami, karena menurut mereka, perkembangan pendidikan anaknya tampak semakin maju.

Mulai Ada Harapan

Memasuki bulan ketujuh berjualan, tampak ada sepercik harapan bahwa masakan nasi itik kami mulai disukai orang. Itu sudah melegakan hati kami. Komitmen kami, bila sampai enam bulan berjualan tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, kami akan hengkang dari Gambut. Ternyata, di saat-saat kami hampir putus asa, Allah menganugerahkan rahmatnya pada kami.
Semula kami hanya menghabiskan satu liter nasi sehari, meningkat menjadi 3 liter, 5 liter, 8 liter, 10 liter, 12 liter, 15 liter, 18 liter, 20 liter, 25 liter, 30 liter, sampai 40 liter sehari. Inilah anugerah Allah yang terindah pada kami.

Kami tidak lagi minder dengan tetangga. Kami bisa berdiri dengan kepala tegak. Dengan berkah berjualan ini, rezeki kami menjadi bertambah. Kami bisa membeli sepeda motor Shogun 125R, membeli motor Supra X125D, komputer terbaik, handycam, bahkan bisa membeli mobil baru jenis pickup. Selain itu kami bisa menabung untuk tabungan haji, juga bisa memberikan tabungan untuk anak. Selain itu, tabungan umum kamipun berpuluh-puluh juta.

Rasanya, diantara guru-guru di Gambut, akulah yang paling beruntung. Mencari uang setengah juta hanya cukup sehari berjualan. Gajiku sebagai guru terganti hanya dengan tiga hari berjualan. Bukankah itu adalah anugerah terindah.

Rasanya Allah betul-betul menyayangi kami sekeluarga. Makan di KFC, Texas, CFC, atau rumah makan mewah lainnya, rasanya tak perlu takut kehabisan uang. Uangpun tak perlu dikapling-kapling.

Sedih rasanya melihat teman-teman guru yang gajinya cukup sebulan. Mau menabung haji, rasanya tak mungkin. Beli mobil, ah itu hanya impian.

Kini Tuhan mengubah impian kami menjadi kenyataan. Meski warung kami tidak terlalu laris seperti orang, tapi rasanya sudah cukup bagi kami.

Kami juga menikmati jerih payah kami dengan berlibur ke Pulau Jawa.


Warung Buka Cabang

Tekadku untuk menambah ���mesin cetak uang��� dengan membuka cabang baru semakin kuat. Secara tidak sengaja, aku membaca iklan baris di sebuah suratkabar yang mengontrakkan tanah tidak jauh dari rumah.

Dengan tekad bulat aku bersama istri memberanikan diri mengontrak tanah tersebut seharga Rp. 36 juta dengan masa sewa dua tahun. Biaya pembuatan warung pun memakan biaya tidak kurang dari Rp. 50 juta. Selain itu untuk perlengkapan dagang juga diperlukan biaya sekitar Rp. 15 juta.

Uang sebanyak itu tentu saja kami tidak punya. Kami hanya punya tabungan sebesar Rp. 35 juta. Bersyukur, ibuku meminjami uang Rp. 10 juta. Perhiasan istrikupun terpaksa dijual senilai Rp. 10 juta. Aku juga ngutang di koperasi sekolah senilai Rp. 2 juta.

Memang, kami masih punya simpanan lain senilai Rp. 20 juta. Tapi itu telah kami niatkan untuk menunaikan ibadah haji yang sudah menjadi tujuan kami berjualan.

Tekad kami sudah bulat. Cabang baru Nasi Itik Gambut akan segera kami buka. Untung atau rugi itu sudah jadi resiko yang harus kami tanggung. Meskipun begitu, terbersit harapan, mudahan warung makan yang akan kami buka ini lebih baik dari warung makan sebelumnya.
Pangsa pasar kami pun bukan kelas menengah sedang dan menengah ke bawah seperti yang ada di Gambut, tapi dikhususkan untuk kelas menengah sedang, dan syukur kalau ada kelas menengah ke atas. Saingan terdekat kami dengan harga yang nyaris sama adalah Rumah Makan Bungo Tanjuang.

Tepat hari Kamis, 10 Agustus 2006, cabang baru Nasi Itik Gambut mulai beroperasi. Rasa ketar-ketir mulai bermunculan, jangan-jangan masakan kami tidak diterima pasar, padahal kami sudah merekrut 6 orang tenaga baru. Kekhawatiran itu ternyata tidak muncul sama sekali, justru harapan untuk tampil lebih baik semakin memberi harapan baru. Warung baru itu ternyata langsung diserbu pembeli, sehingga hari pertama berjualan, kami kalang-kabut untuk menyediakan kebutuhan makanan di warung.

Ini adalah permulaan yang sungguh membahagiakan. Semua masakan yang kami jual ludes semua diserbu pembeli. Sejak hari itu, kami merasa bahwa warung kami telah langsung diperhitungkan orang sebagai salah satu kompetitor bagi rumah makan yang ada di sekitarnya.
Sekitar sebulan berlalu, kondisi pembeli masih saat seperti kami pertama kali buka. Beras yang dimasak tidak pernah kurang dari 65 liter, bahkan mencapai 98 liter. Suatu angka yang fantastis bagi sebuah warung kecil. Dalam sehari, rata-rata omset yang kami terima sebesar Rp. 4 ��� 5 juta.

Awalnya Sibuk

Awal dibukanya cabang ke-2 Warung Barokah, kami sibuknya bukan main. Baru punya 2 cabang, sudah hampir kewalahan menyediakan masakan. Kami pun harus merekrut beberapa tenaga baru hingga jumlah seluruh karyawan kami ada 20 orang.

Ternyata hanya memang awal-awal buka cabang yang sibuk. Setelah itu, kami lebih banyak santai, meski tidur kadang agak kurang.

Setelah hampir 2 bulan sudah berjualan, kami mulai mencicil utang-utang kami. Utang dengan koperasi sudah lunas (2 juta), utang dengan mama pun sudah dilunasi (10 juta), kami bisa menambah masa sewa warung satu tahun lagi (18 juta), kami pun bisa menabung kembali untuk tabungan umum dan tabungan haji.

Punya Niat Buka Cabang

Kami pun masih menyisakan keinginan lagi, yakni untuk kembali membuka cabang baru dengan menu ikan bakar.

WBG 1 Tergusur

Belum kelar keinginan untuk membuka cabang baru, WBG 1 yang berlokasi di Samping kiri Kompleks Luthfia Km 14 Gambut malah kena gusur. Akhirnya, tanggal 22 Januari 2007, WBG 1 dibongkar, dan sebagai gantinya, kami menyewa rumah toko yang terletak tidak jauh dari WBG 1. Warung baru ini kami beri nama WBG 3 dan mulai buka tanggal 24 Januari 2007.

Lokasi baru yang kami sewa 17 juta setahun ini berdampingan dengan Warung Tenda Biru yang terkenal laris manis itu. Memilih lokasi itu, berarti harus bersiap-siap ���makan hati��� seandainya nanti suasananya tidak seperti yang dibayangkan, dalam artian sepi dari pembeli.

Warung Tenda Biru juga ikut tergusur. Karenanya, mereka butuh waktu 15 hari untuk membangun warung baru lagi. Nah, selama mereka tutup, maka warung kami yang menjadi pilihan untuk menikmati nasi itik gambut. Selama 15 hari itu mulai tanggal 24 Januari 2007, kami mampu menjual hingga 150 liter per hari.

Masa Sulit Lagi

Bayang-bayang kelam rasanya mendekati kenyataan ketika tanggal 6 Februari 2007, Warung Tenda Biru milik Alap yang kini menjadi tetangga kami mulai buka. Warung itu segera saja diserbu pembeli, sementara warung kami perlahan-lahan mulai sepi.
Tuhan telah menguji kesabaran kami kali ini. Apakah kami cukup sabar untuk melewati masa sulit ini? Hanya kami punya keyakinan, suatu saat nanti, warung kami pasti akan menjadi pesaing warung lain.

Semakin hari WBG 1 lokasi baru semakin merosot omsetnya. Kalau biasanya setiap hari bisa mengantongi omset 2 ��� 2,5 juta lebih, sekarang, mencari satu juta pun rasanya sulit. Nasi yang dimasak setiap hari selalu berkurang. Kalau biasanya WBG 1 menghabiskan beras rata-rata 50 liter sehari, sekarang tinggal 30 liter. Bahkan ada yang hanya masak 20 liter. Itupun terkadang tidak habis.

Menyedihkan memang. Memandang wajah orang-orang yang tertawa penuh kemenangan, seakan menertawakan kekalahan kami. Satu hal yang harus kami lakukan, kami harus tabah dengan keadaan ini.

Berdoa saja, bahwa suatu waktu, kami bisa berdiri dengan kepala tegak. Berjalan tanpa harus menunduk malu. Tuhan betul-betul sedang menguji kami, seperti pertama kali kami merintis WBG. Kami terus berdoa, sambil berusaha, mencari upaya agar warung kami dilirik orang. Tentu saja bukan upaya yang dapat merugikan warung lain.

Selama hampir sebulan ini berjualan di WBG 1 lokasi baru, belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Bahkan kalau bisa disebut, kadang-kadang kami mengalami kerugian. Kami tidak mendapatkan apa-apa dari hasil jualan itu. Hanya WBG 2 yang saat ini menyuplai pendapatan di WBG 1.

WBG 1 Buka Lagi

Setelah tergusur habis, maka WBG 1 mulai dibangun kembali dengan total dana yang disediakan kurang lebih 10 juta untuk pembangunannya.

Dengan desain yang cukup bagus untuk sebuah warung, WBG 1 hadir kembali menyemarakkan Gambut. Tetapi omset yang diterima jauh sekali dari sebelum digusur. Dengan beras yang dimasak sekitar 40-50 liter, uang yang diterima sekitar 2-2,5 juta. Tapi kini, WBG 1 hanya mendapatkan inkam sebesar 1 juta saja.

Lalu, WBG yang baru dikontrak itu berubah nama menjadi WBG 3. Memasuki bulan ketiga, ada perkembangan yang cukup berarti di WBG 3, omset kami perlahan-lahan merangkak naik menjadi 1,5 - 2 jutaan.

Ini merupakan buah dari ketabahan dan kesabaran kami menghadapi tekanan dari warung lain.

Berangkat Umrah

Untuk menikmati jerih payah selama ini sekaligus menghadiahkan orangtua, kami pergi melaksanakan umrah ke Tanah Suci. Biaya yang kami keluarkan untuk pergi Umrah sekitar Rp. 60 juta untuk empat orang, plus biaya belanja sekitar Rp. 8 juta

Sementara untuk mertua sudah didaftarkan sebagai calon jamaah haji termasuk kami suami istri. Insya Allah bila mempunyai kecukupan uang nanti, mertua akan kami berangkatkan haji lewat jalur Haji Plus, tentu saja bersama kami.

WBG 4 S. Parman Buka

Niat untuk melebarkan sayap Nasi Itik Gambut terlaksana. Kami mengontrak sebuah rumah di kawasan S. Parman dengan nilai kontrak Rp. 55 juta pertahun. Biaya pengadaan alat dan bahan untuk warung ini menghabiskan biaya Rp. 25 juta. Total biaya yang kami keluarkan sekitar Rp. 80 juta.

Warung ini buka Kamis, 21 Juni 2007, tetapi kurang mendapat respons dari pembeli di kawasan S. Parman Kayutangi. Hari pertama buka, hanya menghabiskan beras sekitar 8 liter. Hari kedua, 10 liter. Hari ketiga, 15 liter. Hari keempat, 16 liter. Hari kelima, 20 liter. Meski tidak semeriah waktu WBG 2 buka, tetapi kami mempunyai keyakinan, bahwa Nasi Itik Gambut akan menjadi pesaing bagi Warung Nasi Kuning Cempaka dan Warung Rahmat Andalas Pasar Lama yang berjarak hanya sekitar 400 meter dari WBG.

Tidak Ada Perkembangan

Hingga memasuki bulan ketiga, WBG 4 belum menunjukkan perkembangan. Omset yang diharapkan sekitar 3-4 juta perhari harus ditelan kenyataan pahit. Omset yang didapat selalu di bawah sejuta, hanya dua tiga kali dalam sebulan omsetnya mencapai 1 juta. Omset seperti itu hanya mampu membayar gaji karyawan, sementara listrik dan air masih disuplai profit WBG 2.
Memang ada kekecewaan dibalik kegagalan itu. Tapi, kami sudah siap dengan resiko itu, sehingga kami tidak merasa sedih. Yang kami pikirkan, bagaimana omset di WBG 4 bisa meningkat, itu saja. Selama beberapa bulan ini akan terus kami perbaiki, dan deadlinenya 2 bulan mendatang. Kalau sampai pada bulan keenam, WBG 4 tidak menunjukkan perkembangan, maka kami akan hengkang dari S. Parman.

WBG 4 Sekarat

Tampaknya, WBG 4 di Jalan S. Parman semakin bertambah payah. Lima bulan telah berlalu, omset tidak pernah meningkat, dan bahkan cenderung menurun. Apa yang terjadi sebenarnya di WBG ini? Kalau alasannya karena tempat parkir yang susah, kenapa warung makan lain masih banyak yang parkirnya susah sekali tetapi masih dikerubuti orang?

Satu pemandangan yang sangat kontras. Malam sabtu atau malam minggu, WBG seperti dianggap tak ada sama sekali. Sementara semua warung atau rumah makan di S. Parman dan Hasan Basri selalu dijejali oleh pengunjung. Mulai dari warung Mi Adul, Cempaka, Presto Solo, dan lain-lain selalu sesak. Bahkan, warung Agus yang remang-remang karena hanya diterangi dua buah lampu neon ukuran 20 watt itu parkirnya berjejer panjang sekali. Kenapa ini? Ada apa dengan WBG?

Kuakui, bahwa WBG 4 semakin sekarat. Karyawan yang beberapa orang sudah tampak gelisah, padahal gaji mereka tetap dibayar penuh. Kesepian yang teramat sangat membuat mereka semakin merasa resah dan tak betah. Sudah dua-tiga orang karyawan yang mundur karena tidak sanggup menjadi manusia bisu di situ. Satu sama lain tidak punya teman bicara lagi.
Aku dan istriku mendeadline, bahwa apabila sampai akhir Desember ini WBG 4 tidak menunjukkan perubahan, maka dengan terpaksa kami harus angkat kaki dan menggulung tikar untuk berhenti berjualan di situ, meski dasar hatiku masih berat melepas WBG 4. Aku masih penasaran dengan pertanyaan ���Ada apa dengan WBG 4 sehingga sedemikian sekaratnya���.
Hal pertama yang mulai aku teliti, pasaran S. Parman dan Kayutangi tampaknya didominasi anak muda. Mungkin menu andalan kami kurang cocok dengan mereka. Image mereka tentang itik tidak begitu baik. Mungkin nasi itik yang terkenal di Gambut tidak menarik perhatian mereka.

Hal pertama juga yang mulai aku ubah adalah menu makanan. Nasi itik dengan andalan masak habang tidak lagi dijual, dan kini diganti dengan menu ayam dan itik bakar/goreng. Kompetitor pertama yang kuteliti adalah Ayam Bakar Wong Solo. Paket Ayam Bakar Wong Solo seharga Rp. 12 ribu dengan paket nasi, ayam bakar, lalapan terdiri dari tahu, tempe, terong balado, timun, dan kemangi. Sementara paket ayam bakar bila ditambah dengan sayur asem harganya menjadi Rp. 17.500. Ayam goreng Sedulur seharga Rp. 10.000 perporsi, sementara Ayam Goreng Pak Edy seharga Rp. 12.000. Ayam Goreng Presto Solo seharga Rp. 12.000.

WBG 4 kuganti namanya menjadi Ayam Bakar Ali. Harga paket ayamnya hanya Rp. 10 ribu saja yang isinya nasi, ayam bakar, lalapan: tahu, timun, kol, terong, dan kemangi, serta kuah sop.
Aku masih berharap dan bermimpi WBG 4 dan kini namanya Ayam Bakar Ali akan menjadi rumah makan yang diperhitungkan di bilangan S. Parman. Aku ingin membuktikan bahwa orang jangan main-main dengan kami.

Aku merindukan bahwa WBG 4 akan seperti Ayam Goreng Cempaka atau pun Presto Solo. Segalanya bukan tidak mungkin, kalau kita mau berusaha dan berdoa. Aku yakin, Allah akan menunjukkan jalan terbaiknya buat kami.

Jumat, 11 April 2008

Nama-nama Teman

KELAS 6 SD INPRES MANGKAHUI TAHUN 1984
Miswati (Imis)
Mastitih (Titih)
Diatul Nikmah (Nikmah)
Jainatul Aimah (Ijai)
Nurdin (Nurdin)
Nuriati (Nuri)
Siti Halipah (Lipah)
Ruswati (alm)
Supiansyah (Upe)
Hartano (Tano)
Sahrin (Sahrin)

SAAT DI MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI MUARA TEWEH KALTENG :
Ahmad Sairi - Muara Tuhup
Muhammad Mukminin - Muara Tuhup
Bakti Tawaddin - Muara Teweh
Barkoni (Aco)
Budiansyah
Fakhri Fauzi
Fakhrial Fuadi
Irwansyah
Nurhidayati

SAAT DI SMA NEGERI 1 MUARA TEWEH :
Netty Supriyati
Mispuah Jainatul Rahmah
Yulius Hariyanto
Herly Saliter Gaman
Danen
Delmi
Eksi Winarsi
Eri Laisumena
Penta Priwati
Antonius
Alis Rahmawati
Ameng


SAAT DI SEKOLAH PEMBANTU AHLI GIZI (SPAG) BANJARMASIN TAHUN 1990 :
Erminawati

Semangat Anang Ardiansyah


Anang Ardiansyah, nama itu begitu lekat di hatiku semenjak kecil. Aku mengenal nama ini, seperti aku mengenal lagu "Ampar-Ampar Pisang" dan "Paris Barantai" sejak kecil.

ADING BASTARI
Anang Ardiansyah

Lamah lambut jajantung panjang
Aduhai ading bastari
Bibir habang bakas manginang
Tanda ading nang baik budi

Ading sayang manang di alis
Aduhai bulan sahiris
Putih kuning maambun pupur
Kada tatinggal gawi di dapur

Adat asli jangan dibuang
Hilang akan kupakai jua
Paninggalan urang bahari
Kada lupa sampai mati

AMPAR-AMPAR PISANG
Anang Ardiansyah

Ampar-ampar pisang
Psangku balum masak
Masak sabigi dihurung bari-bari 2x
Manggalepak manggalepok
Dipatah kayu bengkok
Bengkok dimakan api apinya cancurupan 2x
Nang mana batis kutung dikitip bidawang 2x


BONTANG
S. Salfas

Rambai padi rambai palembang
Buahnya labat tangkainya panjang
Biar kucari sampai di Bontang
Barang mahirip kada saimbang

Ini lagu, lagunya Bontang 2x
Lagu gasan basasindiran 2x

Layar kena tamberang kencang
Hanyar ini sampai di Bontang
Baiar mahirip biar saimbang
Iman didada kahada goyang

KAKAMBAN HABANG
Anang Ardiansyah

Kambang culan sasangkutan kakamban habang 2x
Taungut rindu manangis mihat kakamban
Kakambang nang habang 2x

Hari lawan bulan
Rupa manis bapagar bintang
Kakamban nang habang tabawa bajalan
Aduhai kasian

Maramis di banyu dalam
Banyu dalam kacap-kacapan
Manangis di tangah malam
Kakambang nang habang nang jadi ingatan

SABAR MAHADANG
M.A. Barmawie

Laus janar sarai sarapun sarailah sarapun
Wadah mananam tangah halaman
Lawas banar sing takun takun ulunlah batakun
Kada talihat piang pang datang

Kanapa jua harinya hujan
Samakin labat manggantar hati
Rasa balisah ulun mahadang
Urang nang lalu sangkaan pian

Lamun hujan sudah baampih
Hati lalu banyanyi
Turun bapayung mahadang abang
Kada talihat pian pang datang


PANDAN ARUM
Hasal

Bajiku datang marimbun daun
Menguning amas baurai
Syarat runduk rundukan
Kursumangat banihku datang
Banihku intan si pandan harum
Limpahlah limpah ka kindai
Banihku si pandan harum
Kursumangat banihku intan


ANAK PIPIT
Taboneo

Anak pipit gugur matan di sarang
Ka tanah di sala rapun sarai
Umai-umai kada pang sampai hati
Malihat anak pipit kan cilaka

Kasihani anak pipit
Ambili anak pipit
Jangan biarkan anak pipit
Dalam sangsara

BANJARMASIN
Gatot Saputra

Kayuh baimbai ka hulu sungai
Manikmati pamandangan alam
Sungai nang panjang bakilau-kilau
Nang kaya amas intan parmata

Banjarmasin nang kaya jambrut hijau
Di sala butir mutiara
Malahirakan pahlawan bangsa
Bajuang mambela nagara

Kambang goyang lain si kambang barenteng
Kambang goyang tari nang lamah gamulai
Kambang barenteng sanggul kakamban habang
Siang malam hati jadi karindangan

KARANTIKA
Anang Ardiansyah

Du dudu du du
Bintang aras si karantika
Bintang sabuku bintang sabuku
Di kandang rakun

Du dudu du du
Kada maras hampian kaka
Diriku ini siang bapanas malam baambun

Pantun nasib marista diri
Adat lagu tingiran
Pantun nasib marista diri
Lagu-lagu di rantawan

Du du du du
Malam ini malam jumahat
Pasang palita pasang palita
Di atas pati
Du du du du
Tapuk bantal kursumangat
Harap batamu-harap batamu
di dalam mimpi

Selasa, 01 April 2008

Pendidikan Islam dalam "Ayat-ayat Cinta"

PENDIDIKAN ISLAM DALAM “AYAT-AYAT CINTA”
Oleh Alipir Budiman



Novel Ayat-ayat Cinta yang ditulis Habiburrahman el-Shirazy, seorang sarjana alumnus Universitas al-Azhar Cairo, memang fenomenal. Saya sendiri setelah selesai membaca novel itu, merasa ada sesuatu yang sesak di dalam dada. Sesuatu yang berbeda dari novel-novel lain. Tak salah kalau novel Ayat-ayat Cinta ini meledak di pasaran, dan lantas difilmkan. Tapi yang harus diingat, film dan novel itu berbeda. Ada kata hati yang tidak bisa divisualkan, sehingga tidak terwakili dalam film. Nah, justru di novel ini, perasaan hati bisa dikomunikasikan dengan jelas. Tak salah pula, kalau saya menilai, bahwa inilah novel terindah saat ini.
Subhanallah. Ayat-ayat Cinta tidak saja digemari di Indonesia, tapi juga di Malaysia dan Singapura. Samad Said, sastrawan Malaysia, sangat memuji novel ini. Ia mengatakan: Jika dulu pernah hadir "Atheis", "Perburuan", "Pulang", "Merahnya Merah" dan "Bumi Manusia", kini tampaknya gelora itu datang dalam bentuk Ayat-Ayat Cinta pula. Ternyata ia adalah sebuah novel yang sangat memujuk dan menghiburkan. Dengan bahasa yang sederhana mengalir, novel ini menghadapkan kita kepada mahasiswa Indonesia yang tidak saja tekun menangguk ilmu, malah berupaya mengisi kehidupan dengan penuh sabar. Ayat-Ayat Cinta pintar mengheret kita menjejaki — malah menghidu — perhubungan Fahri (Indonesia) dan Maria (Mesir) secara penuh mengajar, menghantar isyarat dan kebijaksanaan baru melalui perhubungan sopan antara insan dua negara.”.
Pembaca lain mengatakan “novel ini sudah lunyai bukan sahaja di kalangan pelajar-pelajar tahfiz atau sekolah pondok malahan mana-mana pembaca di seluruh negara. Dan benar seperti kata mereka. Novel ini boleh diangkat sebagai karya sastera Islam yang berjaya. Sungguh-sungguh terkesan dengan novel ini. Benar-benar saya rasa novel ini sewajarnya dimiliki sesiapa sahaja, sungguh-sungguh penulis menggambarkan segalanya. Pelbagai aspek turut disentuh, agama, cinta, keluarga. Jika anda berat pada agama, ini buku untuk anda. Jika anda suka dengan kisah cinta, ini juga untuk anda. Jika anda pentingkan keluarga, ini juga untuk anda. Jika rasa ingin menjelajah Mesir, ini buku untuk anda. Pendek kata, buku ini sesuai untuk semua golongan.”
Salah satu stasiun televisi Malaysia bahkan sampai mengundang Kang Abik, panggilan akrab penulis novel, datang untuk diwawancarai karena novelnya selalu ada di peringkat puncak sebagai buku laris di Malaysia.
Pencinta novel ini di Singapura lain lagi. Mereka beramai-ramai terbang ke Batam untuk menonton film ini yang sedang diputar di Batam awal Maret 2008 ini.

Wakil Melayu
Lagi-lagi Subhanallah. Novel ini, sadar atau tidak sadar, menjadi perekat kembali hubungan bangsa serumpun, terutama Indonesia – Malaysia. Sebagaimana kita ketahui, hubungan kedua negara ini agak memanas dengan berbagai situasi sejak lepasnya Sipadan Ligitan, dilanjutkan lagi dengan kasus Ambalat, pemukulan wasit Indonesia, pematenan batik Solo, sampai pengklaiman (lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo, adat dan budaya di Sumatera) sebagai milik Malaysia. Belum lagi persoalan TKI yang membuat imej mereka tentang Indonesia sebagai orang yang bodoh dan dungu. Mereka menghina orang Indonesia di sana dengan kata-kata “Indon”. Perang tulisan di internet pun tak terelakkan. Indonesia memplesetkan Malaysia dengan kata “Maling Sial”.
Tapi lihat, Ayat-ayat Cinta mampu merajut benang yang kusut ini. Sajian pendidikan Islam dalam perilaku sehari-hari selalu mewarnai novel ini dari awal sampai akhir. Aplikasi Islam dalam kehidupan betul-betul digarap dengan manis dengan tokoh Fahri yang nyaris tak ada celanya.
Oleh pembaca Malaysia, mereka menganggap Fahri – tokoh hayalan Kang Abik , sang pengarang– sebagai orang yang mewakili Melayu yang berhasil menempuh pendidikan di Mesir, serta berhasil mengamalkan ajaran dan sunnah Baginda Nabi SAW, sehingga dengan perilaku luhur itu berhasil menarik perhatian tiga gadis dari tiga bangsa berbeda. Nama baik Melayu sangat tercitrakan di novel ini, yang juga berarti nama baik Malaysia juga. Malaysia dalam beberapa komentarnya tentang novel itu banyak menyebut Fahri sebagai orang Melayu ketimbang Indonesia. Ini membuktikan bahwa Fahri dalam tokoh itu juga milik mereka yang notabene juga bangsa Melayu.
Novel ini akan tambah laris manis lagi jika seandainya dalam tokoh rekaan itu termuat juga tokoh dari Malaysia, misalnya saja jadi teman Fahri kuliah satu kamar, atau yang lainnya. Tentu hal ini punya kebanggaan tersendiri bagi Malaysia.
Bangsa Melayu sangat dekat, bahkan identik dengan Islam. Islam yang berbalut cerita digarap indah oleh Kang Abik. Indah karena dibalik cerita Mesir-Indonesianya, ceritanya adalah tentang kita. Tentang pergaulan sesama lelaki-perempuan, pergaulan sesama muslim-bukan muslim, adab murid dan guru, adab dan tanggungjawab sebagai seorang lelaki, perempuan, anak, suami, isteri, kawan, kakak, kekasih, tunangan, manusia dan paling penting sebagai hamba Allah.
Kang Abik, juga mengingatkan kita akan bahwa setiap muslim itu tanggungjawab sebagai pendakwah. Banyak teori, hukum, perintah dan larangan yang ada dalam Islam diaplikasikan dengan baik dalam jalan cerita ini. Pengarang betul-betul menjadikan Islam sebagai bagian dari kehidupan dalam karakternya. Islam juga mengatur bagaimana memandang cinta. Novel ini banyak mengambil ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebut tentang cinta. Ayat itu juga merujuk kepada tanda, kekuatan cinta.

Pendidikan Islam
Tidak heran, kalau novel ini merupakan sastra Islami yang hebat. Tidak kurang dari sepuluh kitab yang dijadikan rujukan dalam menulis novel ini. Kang Abik betul-betul memberikan pendidikan ke-Islaman dengan novel sebagai media dan Fahri sebagai tokohnya.
Pendidikan Islam yang dapat kita jumpai dalam novel ini adalah pertama, karakter dan perilaku Fahri banyak mengamalkan sunnah Rasulullah. Misalnya, apabila Fahri hendak menjernihkan suasana pertengkaran, ia tidak serta-merta mengeluarkan hadits “La Taghdab”. Sebaliknya, Fahri mengajak orang yang sedang marah itu agar bersalawat ke atas Nabi SAW dan redalah amarah mereka.
Kedua, Fahri juga teguh dengan prinsip Islam. Contohnya, Fahri sangat menjaga hubungan dengan yang bukan mahram. Beliau enggan bersalaman dengan wanita Amerika dan dijelaskan pula sebabnya menurut hukum Islam. Beliau juga menegur sahabatnya yang membiarkan beliau ditemani keseorangan oleh Maria, seorang wanita Kristian, semasa beliau terlantar di hospital.
Ketiga, Fahri juga menerima saja wanita yang telah dicalonkan oleh gurunya untuk dijadikan teman hidup. Ia tidak tahu siapa gerangan wanita itu. Ia hanya diterangkan bahwa calonnya adalah seorang muslimah yang salehah dan sanggup ikut sama berjuang dalam dakwah. Fahri diberi foto wajah calonnya, tetapi mengambil keputusan untuk ridha dan tawakkal saja.
Keempat, Fahri selalu menjaga kedisiplinan waktu, meskipun ia orang Melayu (Indonesia). Sebagaimana sudah jadi kebiasaan, orang Melayu tidak tepat dalm waktu.
Kelima, Fahri gigih menuntut ilmu. Ia terpaksa menempuh perjalanan yang jauh untuk menuntut ilmu al-Quran dalam suasana matahari yang terik. Ia turut juga rajin berdakwah dengan menterjemah buku dan menjawab persoalan tentang Islam kepada seorang wartawan Amerika sehingga membawa kepada keIslaman wartawan tersebut. Beliau sangat gigih sehingga jatuh sakit sampai akhirnya terpaksa dimasukkan ke rumah sakit akibat terjemur terlalu lama di bawah mentari.

Banyak Hikmah
Sungguh rugi rasanya, seandainya pembaca tidak mengenal siapa saja di balik novel Ayat-ayat Cinta yang sangat hebat ini, dan terjual lebih dari 300 ribu eksemplar.
Bercerita tentang. Fahri, pelajar Indonesia yang berusaha menggapai gelar masternya di Al Ahzar. Berkutat dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Bertahan dengan menjadi penerjemah buku-buku agama. Semua target dijalani Fahri dengan penuh antusiasme kecuali satu: menikah. Kenapa? Karena Fahri adalah laki-laki taat yang begitu ‘lurus’. Dia tidak mengenal pacaran sebelum menikah. Dia kurang artikulatif saat berhadapan dengan mahluk bernama perempuan.
Maria Girgis, tetangga satu flat yang beragama Kristen Koptik tapi mengagumi Al-Qur’an dan Fahri. Kekaguman yang berubah menjadi cinta yang hanya tercurah dalam diary saja. Lalu ada Nurul, anak seorang kyai terkenal yang juga mengeruk ilmu di Al Azhar. Sebenarnya Fahri menaruh hati pada gadis manis ini. Sayang rasa mindernya yang hanya anak keturunan petani membuatnya tidak pernah menunjukkan rasa apa pun pada Nurul. Sementara Nurul pun menjadi ragu dan selalu menebak-nebak. Setelah itu ada Noura, tetangga yang selalu disiksa ayahnya sendiri. Fahri berempati penuh dengan Noura dan ingin menolongnya. Sayang hanya empati saja. Tidak lebih. Namun Noura yang mengharap lebih. Dan nantinya ini menjadi masalah besar ketika Noura menuduh Fahri memperkosanya.

Terakhir muncullah Aisha, si mata indah yang menyihir Fahri. Sejak sebuah kejadian di metro, saat Fahri membela Islam dari tuduhan kolot dan kaku, Aisha jatuh cinta pada Fahri. Dan Fahri juga tidak bisa membohongi hatinya.
Ayat-Ayat Cinta, sebuah novel pembangun jiwa, memang benar-benar membangunkan jiwa-jiwa yang haus akan nilai-nilai religi, dan haus akan suasana hikmah Illahi. Ketika kita merasuk ke dalam cerita itu, bagi orang yang halus hatinya, bagi orang yang kuat perasaannya, pasti akan terbawa dalam keharuan, kemudian tak terasa hangat air mata mengalir lembut di pipi. Saya yakin, siapapun yang pernah membaca buku ini mengalaminya. Yakinlah, banyak hikmah yang dapat dipetik dalam cerita ini.

Alipir Budiman, S.Pd
e_mail : affrains.budiman@yahoo.co.id
Guru MTs Negeri 2 Gambut Kab. Banjar

Rabu, 06 Februari 2008

Aku Menulis Lagi

Inilah tekadku. Ingin menulis lagi, meski keadaanku sudah berbeda dengan di saat aku produktif sekitar tahun 90-an. Aku telah memasuki dunia kerja yang terlalu banyak menyita hari-hariku. Begitu menjemukan sekaligus melelahkan. Selain sebagai guru, aku juga bekerja di warung makanan.


Di warung inilah menyebabkan matinya kreativitas yang sejak lama kubina. Bibit yang semestinya selalu disiram dan dipelihara, ternyata harus layu sebelum akhirnya terkubur. Ah, menyedihkan memang.


Meski aku menyadarinya, toh pekerjaan di warung tetap rutin kujalani. Dari sinilah, aku bisa merasakan segalanya. Kehidupan di rumah tangga terasa berubah. Meski hanya mendapat laba 40 jutaan sebulan, itu jauh lebih baik dibandingkan gaji sebagai seorang guru PNS yang hanya mendapat 1,8 juta sebulan.


Inilah problem guru-guru di sekolah. Gaji yang ada tidak mencukupi untuk keperluan yang lebih besar. Hanya cukup untuk sebuah kehidupan yang sederhana. Terlalu menyedihkan memang. Di saat hasrat untuk punya kehidupan yang lebih baik begitu menggelora, tapi kita tidak mampu apa-apa. Beli rumah tidak sanggup. Kalaupun sanggup, itu hanya type 36 dengan kategori Rumah Sangat Sederhana dengan masa cicilan 10 hingga 15 tahun. Ingin beli mobil, itu impian yang tidak mungkin. Gaji 1,6 juta perbulan mana mungkin ingin membayar angsuran mobil yang mencapai 5 jutaan. Paling-paling cukup untuk membayar uang muka sebuah sepeda motor dengan angsuran ringan. Mau beli televisi 29 inch, spring bed yang mahal, atau sofa yang berkualitas, harus menabung beberapa bulan.


Tidak mengherankan, kalau guru identik dengan kehidupan sederhana. Lalu, haruskan teorema seperti itu diterima? Kita hanya pasrah dengan keadaan tersebut?


Aku, termasuk orang yang membantah pernyataan tersebut. Dan itu sudah kubuktikan. Pekerjaan di warung bisa memberikan pendapatan yang lebih besar dari gaji kita sebagai guru. Bagiku, orang yang hanya mengharap gaji dari pemerintah, tanpa memikirkan bidang usaha lain yang bisa digarap, adalah guru yang tidak punya kreativitas dan miskin inovasi. Mereka miskin dengan gaji pas-pasan, karena mereka tidak kreatif.


Hanya saja, resiko besar yang dihadapi dengan adanya pertumbuhan usaha, adalah pudarnya jiwa intelektual seseorang. Dunia intelektual yang dulu pernah jadi dunia di hati, kini semakin hilang. Kreativitas dalam bidang bisnis nyaris mematikan kreativitas dalam bidang yang lain.


Menulis, dunia yang dulu kugeluti, terasa semakin jauh. Komputer yang dulu setiap hari menemani, kini seperti menjadi barang pajangan yang hanya dipakai jika perlu. Kendati ide-ide cemerlang begitu banyak bermunculan dalam otak, namun pikiran tidak sanggup lagi menuangkannya ke dalam tulisan.


Terkadang muncul rasa malu, ketika ada yang masih mengingat namaku. Padahal nama itu sudah lama tenggelam. Seperti saat aku memperpanjang KIR mobil, tanpa sengaja, Rustam Effendi, staf Dinas Perhubungan Kota Banjarmasin, menanyakanku: “Alipir, kenapa tidak menulis lagi?”. “Dulu aku sering membaca tulisan-tulisanmu,” kata beliau lagi.


Sebenarnya, hati ini masih ingin menulis. Jiwa ini masih seperti dulu. Suka menulis. Karenanya, mulai hari ini, kutanamkan niat dan kumulai lagi dengan menulis kalimat, bahwa “aku menulis lagi!”.


Menjadi Guru Tanpa Merasa Terhina

Dewasa ini, profesi sebagai seorang guru bukan lagi dianggap sebagai profesi yang menjanjikan, apalagi menggiurkan. Guru dalam kehidupan masyarakat era baru ini identik dengan kehidupan sederhana. Lebih detail lagi, miskin dan pas-pasan. Kenaikan gaji yang diusahakan pemerintah tidak mampu mengimbangi harga barang yang melambung tinggi pasca kenaikan BBM. Disaat pemerintah banyak menaruh harapan besar di pundak para guru, seperti peningkatan dan perbaikan mutu output dengan standar kompetensinya, disaat itu pula para guru tengah bergulat memperjuangkan hidupnya. Dua hal yang sama sekali tidak bersinergi. Akibatnya, guru selalu dikebiri.

Dalam retorika, menyandang predikat sebagai guru adalah pekerjaan yang sangat mulia dan terhormat. Guru, yang selalu digugu dan ditiru. Tingkah lakunya bak malaikat yang tidak boleh salah, padahal guru juga adalah manusia. Menjadi guru harus mempunyai berbagai macam kompetensi, yang dengan kompetensi itu akan meningkatkan kualitas anak didik.

Tapi dalam kenyataan, guru bukan lagi sosok yang bisa digugu, apalagi ditiru. Dengan kondisi sederhana, miskin, dan pas-pasan tersebut, mana mungkin siswa dan orangtua siswa ingin meniru sang guru. Lihat saja, banyak siswa sekarang yang sudah tidak lagi bersikap sopan dan hormat pada guru, bahkan cenderung melecehkan bila guru punya banyak aturan dan tata tertib.

Kenyataan terhadap kondisi guru yang demikian diamini oleh para guru sendiri. Unjuk rasa ribuan guru beberapa waktu lalu menuntut perbaikan finansial, serta beberapa artikel di media massa yang ditulis oleh para guru, mengisahkan tentang kesedihan nasib guru yang selalu dikebiri. Guru yang selalu dilecehkan dalam hal finansial, tetapi selalu dituntut dalam hal prestasi. Sampai kadang-kadang dari beberapa tulisan mengenai nasib guru, ada yang berkonklusi, bahwa guru adalah orang yang malang. Gajinya kecil tapi beritanya besar.

Zaman Megawati, tunjangan guru dinaikkan 125 %. Banyak orang mengira, gaji guru naik 125%. Tetapi apa lacur, ternyata itu hanya naik 125% dari Rp. 55.000 (tunjangan guru). Kenaikan itu tetap tidak sanggup mendongkrak pendapatan guru, karena sejak itu pula, sudah terjadi kenaikan harga.

Guru, sedemikian malangkah menjalani profesi ini? Tidak usah bertanya lagi soal kualitas. Mau menyamakan dengan negara lain, it’s impossible. Karenanya, bila guru tidak kreatif, tidak punya dedikasi yang lebih baik, tidak akan ada lagi yang heran.


Hebat di Kelas, Kalah di Masyarakat

Mana kehebatan seorang guru? Ternyata, guru hanya hebat berteori kala berada di dalam kelas. Bisa bercerita tentang kemajuan zaman, kemajuan teknologi, dan teori-teori ekonomi untuk melatih kemandirian murid serta membekalinya dengan kecakapan hidup (life skills).

Tetapi ketika berada di luar kelas, guru adalah orang yang terhempas dengan arus zaman, tergilas roda kehidupan yang semakin modern. Hidup sepertinya sudah tidak berdaya lagi ketika menghadapi gempuran kekuatan asing. Gaji yang didapat tak bisa mengejar kemajuan zaman dan kemajuan teknologi. Teori-teori ekonomi yang dikisahkan di hadapan murid-muridnya juga tak mampu diaplikasikan, bahkan justru keteter menjalankan roda perekonomian dalam rumah tangganya sendiri.

Inilah problem guru-guru kita. Gaji yang ada tidak mencukupi untuk keperluan yang lebih besar. Hanya cukup untuk sebuah kehidupan yang sederhana. Terlalu menyedihkan memang. Di saat hasrat untuk punya kehidupan yang lebih baik begitu menggelora, tapi kita tidak mampu apa-apa. Beli rumah tidak sanggup. Kalaupun sanggup, paling-paling dengan type sederhana dan masa cicilan 10 hingga 15 tahun. Ingin beli mobil, itu impian yang tidak mungkin. Gaji yang diterima mana mungkin membayar angsuran mobil yang mencapai 5 jutaan dengan uang muka puluhan juta rupiah. Paling-paling cukup untuk membayar uang muka sebuah sepeda motor dengan angsuran ringan. Mau beli televisi 54 inch, spring bed yang mahal, atau sofa yang berkualitas, harus menabung beberapa bulan.

Sesedih itukah seorang guru menghadapi kekalahannya di mata masyarakat? Lalu, haruskah teorema seperti itu diterima? Apakah guru hanya pasrah dengan keadaan tersebut?


Kurang Kreatif

Sebenarnya, guru-guru kita hanya kurang kreatif. Pola hidup yang bergantung pada gaji yang diterima setiap bulan, adalah pola yang tidak mendidik dan tidak membangun kreativitas. Pola pikir sebelum memilih profesi guru pun, juga memandang kepada enaknya dapat gaji tanpa harus memiliki resiko dan modal.

Etos kerja seperti ini yang sering menimbulkan masalah.

Ketidakkreativan di luar sekolah kadang-kadang berimbas ke dalam lingkungan sekolah. Guru jadi malas atau tidak bersemangat mengajar. Persoalan di rumah tangga kadang-kadang terlampiaskan pada murid-murid di dalam kelas. Masalah sepele di dalam kelas bisa jadi masalah besar. Belum lagi dengan masalah keuangan. Lalu muncul guru yang memaksa menjual buku ke siswa, penyelewengan dana OSIS oleh guru, perebutan hak pengelolaan kantin sekolah, pemangkasan kegiatan-kegiatan siswa, minta jatah dari hasil sumbangan pihak ketiga, dan lain sebagainya. Masalahnya sepele, hanya memperebutkan uang yang tidak terlalu besar nilainya.


Berpikir Positif

Mengatasi hal yang sampai sekarang terus menjadi problem para guru tersebut, ada baiknya kita mulai berpikir positif.

Mulailah dari usaha untuk tidak mempermasalahkan masalah, melainkan mencari solusi atas masalah. Kegagalan kita adalah sebuah masa lalu, dan cukup untuk kita jadikan kenangan, bukan untuk diratapi. Asumsi masyarakat yang negatif tentang guru, dan itu kita akui, dijadikan cambuk untuk menatap masa depan. Mulailah dari hal yang sederhana.

Bagi seorang guru, apalagi guru mata pelajaran, waktu luang yang tersedia sangat banyak. Misalnya, seorang guru mengajar 18 jam dalam seminggu. Kalau kita hitung 1 jam pelajaran sama dengan 45 menit, maka 18 jam pelajaran hanya membutuhkan waktu 13,5 jam dalam seminggu. Waktu yang sangat sedikit itu sangat tidak sebanding dengan sisa waktu kita yang mencapai 154,5 jam dalam seminggu.

Apa saja yang kita lakukan dengan sisa waktu tersebut? Sisa waktu itu sebenarnya bisa digunakan untuk hal-hal lain yang bermanfaat, setidaknya buat menambah pendapatan selain mengharap gaji. Usaha tersebut antara lain membuka servis elektronik, sablon, warung makan, berjualan, menjahit, komputer, bikin kue, mengelola bimbingan belajar, dan lain sebagainya.

Salah seorang contoh guru kreatif bisa dikemukakan di sini. Ahmadi, seorang sarjana Pendidikan Sejarah FKIP Unlam, merintis usaha sablon untuk kegiatan di luar kegiatan sekolah. Keberhasilannya dalam usaha ini telah mengantarnya memiliki rumah sendiri, punya motor, beli mobil, membantu orangtua, dan fasilitas lain. Income setiap bulan mencapai empat kali lipat dari gaji yang diterimanya sebagai seorang guru di MTsN Model Mulawarman Banjarmasin.

Dengan gaji sebesar itu, Ahmadi bisa mengantisipasi resiko dalam mengatur pengeluaran sebagai seorang guru. Dia mengaku tidak terbebani dengan gaji yang diterimanya di sekolah, dan bekerja di sekolahpun bisa dengan lega hati.


Menghapus Paradigma

Dengan melakukan usaha tersebut, setidaknya seorang guru akan berusaha menghapus paradigma dalam masyarakat, bahwa guru identik dengan kehidupan miskin. Seorang guru harus punya rasa percaya diri yang kuat, bisa berjalan dengan kepala tegak tanpa harus merasa malu.

Memang, perlu perjuangan untuk mencapai semua itu. Tapi bila kita mampu memperjuangkannya, itulah kesuksesan kita. Memang, tolok ukur kita bukan pada sisi materi. Tapi, keberhasilan kita mencapai cita-cita itulah sebenarnya kesuksesan yang saya maksud.

Untuk mencapai kesuksesan, guru perlu bangkit dan mengubah ketergantungan terhadap gaji sebagai seorang guru. Kita harus menciptakan pekerjaan lain, dan itu kita harus berani mengambil resiko.

Keberanian untuk mengambil resiko dalam memulai usaha, untuk bangkrut atau sukses harus diupayakan menjadi hal yang biasa sehingga menjadi attitude yang wajar dalam hidup ini. Ingat, merintis jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Namanya juga sedang membangun passive income. Kalau sudah mempunyai passive income yang bagus, guru bisa lebih tenang bekerja di sekolah. Konsentrasi tidak harus terganggu oleh masalah gaji yang dirasa kecil. Pemerintah tugasnya bukanlah menyejahterakan guru, tetapi hanya memberikan imbalan yang pantas sesuai dengan job kita.

Sukses hidup adalah suatu pilihan, komitmen pribadi dan bukan karena faktor kebetulan atau nasib. Sukses bukan sebuah benda yang jatuh dari langit dan bisa kita pungut begitu saja, tetapi diperoleh dari strategi, perjuangan, pengorbanan, dan pergumulan yang tidak kenal menyerah.

Kalau sukses sudah di tangan, kita tinggal membina siswa di kelas tanpa ada yang membebani. Kita bisa menjadi guru yang lebih kreatif yang tidak hanya bisa berteori. Selain itu, kita menjadi guru yang bermartabat di mata masyarakat. Berdiri dengan kepala tegak, dan berjalan dengan mantap penuh rasa percaya diri.

Bila semua itu terpenuhi, masihkah kita merasa menjadi guru yang terhina?

Lebih Dekat dengan Ali

Semasa mahasiswa, banyak yang mengenal sosok yang satu ini sebagai seorang penulis di media massa. Tulisannya sering menghiasi halaman opini Banjarmasin Post, Dinamika Berita/Kalimantan Pos, Surya, Jawa Pos, dan lain-lain. Dia juga sering menulis cerita anak-anak dan cerita lucu yang dimuat di Majalah Ananda Jakarta. Selain menulis artikel, dia juga menulis cerita dan puisi. Bahkan, cerbernya pernah dimuat selama berbulan-bulan di sebuah media massa. Tapi, siapa sangka, dia justru kini malah menggeluti bisnis makanan.

Alipir Budiman, demikian nama pria jebolan matematika FKIP Unlam ini, telah menjatuhkan pilihan berkariernya pada dunia makanan, dan menu Nasi Itik Khas Gambut menjadi andalannya. Kenapa memilih menu khas Gambut?

Ide ini bermula dari seringnya dia melewati daerah Gambut, karena tugasnya sebagai seorang guru matematika di MTsN 2 Gambut. Hampir sepanjang jalan di sekitar Gambut dari pagi hingga malam selalu disesaki dengan orang yang ingin makan nasi itik. Dan, Alipir sendiri termasuk dari para penikmat masakan tersebut. Lantas, muncul ide untuk membuka usaha sejenis di daerah keramaian tersebut

Prospeknya bagus. Lihat saja, hari Minggu dan hari libur Gambut selalu diserbu dengan penikmat nasi itik. Kenapa kita tidak mencoba?” katanya.

Berbekal dengan kemauan keras dan modal pas-pasan, Pak Ali, demikian bapak tiga anak ini biasa dipanggil, mulai membuka usaha nasi itiknya dengan menyewa sebidang tanah kecil di kawasan A. Yani Km 14. “Modal awalnya sebagian dari kantong sendiri, sebagian lagi dari uang tabungan siswa,” kenangnya.

Mula-mula, dagangannya sepi pembeli. Sehari saja tak mampu menghabiskan 5 liter nasi. Sementara warung-warung yang berada di sekitarnya, selalu disesaki dengan pembeli. Namun, berkat ketekunan dan kesabaran Pak Ali dan istrinya, pada bulan ketujuh, di saat mereka hampir kapok berjualan, pelanggan mulai berdatangan. Sekarang, dalam sehari, Warung Barokah (WBG) yang dikelolanya, menghabiskan beras 40 – 70 liter perharinya.


Buka Cabang

Karena ingin terus eksis dalam dunia makanan, tanggal 10 Agustus 2006 yang lalu, Pak Ali membuka cabang di Banjarmasin, yani Nasi Itik Gambut yang berlokasi di Jl. A. Yani Km 3,5 Samping Mesjid Baiturrahim .

Kembali muncul rasa ketar-ketir, jangan-jangan masakannya tidak diterima pasar. Sekadar diketahui, di Banjarmasin, jenis masakan yang disukai masyarakat adalah jenis bakaran, gorengan. Sementara Warung Barokah, andalannya adalah menu masak habang yang menjadi ikon Kota Gambut. Wajar kalau rasa ragu itu muncul.

Kekhawatiran itu ternyata tidak muncul sama sekali, justru harapan untuk tampil lebih baik semakin memberi harapan baru. Warung baru itu ternyata langsung diserbu pembeli, sehingga hari pertama berjualan, karyawannya yang berjumlah 10 orang kalang-kabut untuk menyediakan kebutuhan makanan di warung.

“Ini adalah permulaan yang sungguh membahagiakan. Semua masakan yang kami jual ludes semua diserbu pembeli. Pembeli bahkan sampai antri di luar. Sejak hari itu, kami merasa bahwa warung kami telah langsung diperhitungkan orang sebagai salah satu kompetitor bagi rumah makan yang ada di sekitarnya.” akunya.

Sekarang, kalau pembaca kebetulan lewat di bilangan Jalan A. Yani Km 3,5 Seberang Pangkalan TNI Angkatan Laut, singgahlah ke Warung Nasi Itik Gambut. Soal harga, dijamin masih murah dibanding yang lain. Soal rasa, warung ini juga punya cita rasa khas. Selain nasi itik, juga tersedia menu masak habang yang lain, seperti ayam, haruan, telur, hati, daging, dan dendeng. Juga bila siang hari, ayam dan itik goreng lalapan pun tak kalah lezatnya. Malam hari, sop dan soto itik juga dapat dinikmati.

Dalam sehari, WBG mampu menghabiskan beras 120 – 159 liter. Suatu ukuran yang cukup fantantis bagi sebuah warung kecil.


Obsesi

Sebenarnya ada obsesi lain yang dimiliki Pak Ali dibalik bisnis ini. Dia ingin mengangkat harkat guru di mata masyarakat. Selama ini, katanya, guru identik dengan kehidupan sederhana.Kenaikan gaji yang diusahakan pemerintah tidak mampu mengimbangi harga barang yang melambung tinggi pasca kenaikan BBM. Disaat pemerintah banyak menaruh harapan besar di pundak para guru, disaat itu pula para guru tengah bergulat memperjuangkan hidupnya. Guru yang selalu dilecehkan dalam hal finansial, tetapi selalu dituntut dalam hal prestasi.

Pak Ali ingin membuktikan, bahwa menjadi gurupun tidak halangan untuk mengubah impian menjadi kenyataan. Mau beli mobil, rumah, atau apapun, Insya Allah akan tercapai. Dengan usahanya ini, dia mengharapkan menjadi motivasi bagi guru-guru lain untuk terus memperbaiki ekonominya sendiri tanpa harus bergantung kepada pemerintah.

Dengan melakukan usaha tersebut, setidaknya seorang guru akan berusaha menghapus paradigma dalam masyarakat, bahwa guru identik dengan kehidupan miskin. Seorang guru harus punya rasa percaya diri yang kuat, bisa berjalan dengan kepala tegak tanpa harus merasa malu.

Memang, perlu perjuangan untuk mencapai semua itu. Tapi bila kita mampu memperjuangkannya, itulah kesuksesan kita. Memang, tolok ukur kita bukan pada sisi materi. Tapi, keberhasilan kita mencapai cita-cita itulah sebenarnya kesuksesan yang dimaksud.

Untuk mencapai kesuksesan, guru perlu bangkit dan mengubah ketergantungan terhadap gaji sebagai seorang guru. Kita harus menciptakan pekerjaan lain, dan itu kita harus berani mengambil resiko.

Dan, Alipir sudah membuktikannya. Betul juga. Siapa bilang menjadi guru enggak bisa kaya?


Selasa, 05 Februari 2008

Kelezatan Nasi Itik Gambut Warung Barokah

Jika Anda berkesempatan ke Banjarmasin, tentu tak lengkap rasanya jika tidak mencicipi makanan khas Banjar. Dikatakan sebagai makanan khas, tentu saja karena memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan daerah lain. Menu khas Banjar antara lain Soto Banjar yang terkenal ). dimana-mana, Ketupat Kandangan, rimpi Binuang, kelelepon Martapura, nasi itik gambut.
Wah, bicara nasi itik gambut, Warung Barokah jagonya. Warung ini punya banyak cabang. Cabang pertama di Jalan A. Yani Km 14 (Samping Kompleks Luthfia) Gambut. Ini pas bagi Anda yang baru datang dari bandara (atau luar kota), Anda tinggal turun dari mobil, parkir sebentar, beli dan langsung bawa pulang nasi bungkus itik gambut. Harganya relatif murah, cuman Rp. 7.000 per bungkus. Menggunakan bungkus daun pisang (wuih.... biar nasinya harum..........). Cabang kedua, Jalan A. Yani Km 3,5 (Seberang TNI Angkatan Laut) Banjarmasin. Nah, ini diperuntukkan bagi Anda warga Banjarmasin yang tak ingin jauh-jauh ke Gambut hanya untuk mencicipi nasi itik. Istimewanya, menu di sini lebih komplit dari semua warung nasi itik yang ada di Gambut. Selain bumbu masak habang, ditambah dengan cah sayur, tahu tempe, mie, dan wow... empal jagung. Cuma harganya naik dikit , Rp. 8.000 - Rp. 9.000. Wong itiknya gede-gede. Tempatnya enak, persis di jalan protokol. Cabang ketiga, Jalan A. Yani Km 13.9 Gambut (wah... koq Gambut lagi). Ini dimaksudkan bagi Anda yang pengen ke luar kota ato pengen ke Bandara, bisa langsung mampir ke sini.
TAPI UFF.... WARUNG BAROKAH GAMBUT bukan WARUNG TENDA BIRU ya. Warung Barokah punya rasa yang berbeda.
Bahan-bahan yang digunakan adalah bahan dan bumbu dengan kualitas nomor satu. Selalu dan selalu ingin memanjakan lidah pelanggan.